MUDHAROBAH DAN MUSAQOH - Ainuz Zulfa

Latest

Sabtu, 11 Maret 2017

MUDHAROBAH DAN MUSAQOH

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari disaat akan melakukan atapun melaksanakan suatu kerjasama dalam hal usaha penanaman modal pasti menemui suatu persoalan yang rumit. Dimana kita baik sebagai penanam modal ataupun penerima modal harus mengetahui hukum, rukun, atapun syarat-syaratnya dalam menjalankan kerjama supaya mendapatkan hasil yang memuaskan tanpa ada persoalan-persoalan yang timbul, yang membuat antara kedua belah pihak berlawanan satu sama lain.
Dalam makalah ini akan dikaji beberapa hal penting yang akan menambah pengetahuan kita seputar akad mudharobah dan akab musaqoh. Dimana bahwasanya telah banyak persoalan yang timbul dari praktik mudharobah dan musaqoh. Dalam makalah inipun akan dibahas problematika apa saja yang muncul, dan kita dapat mempelajarinya serta mengetahui hikmah yang terdapat didalamnya.
      
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana definisi investasi, syaratnya dan problematika yang muncul?
2.      Bagaimana definisi musaqoh, syaratnya dan problematika yang muncul?


BAB II
PEMBAHASAN

A. MUDHAROBAH
1.      Pengertian Mudharobah
Mudharobah adalah akad kerja sama dalam bentuk usaha dari yang memiliki modal (shahib al-mall) dengan pengelola modal (shahibu al-amal) dalam bentuk usaha perdagangan, perindustrian, dan sebagainya, dengan keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama, misalnya dibagi dua, dibagi tiga, atau dibagi empat.
Kalimat mudharobah berasal dari suku kata dharbu, yang berarti bepergian, sebab dalam berdagang pun umumnya terdapat bepergian. Arti ini terdapat dalam Allah surat An-Nisa’ ayat 101:
...وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ
Artinya: “Dan apabila kamu bepergian di bumi......” (QS. An-Nisa’ :101)
Tujuan  mudharobah adalah menghindari kebekuan modal orang yang mempunyai harta atau modal dan menghindari kesia-siaan keahlian seseorang yang kompeten di bidangnya, sementara ia tidak memiliki modal untuk memanfaatka skill yang dimilikinya.
Mudharobah disebut juga dengan qiradh, yang diambil dari kalimat qardhu, artinya putus. Disebut demikian karena pemilik uang telah melepaskan sebagian uangnya untuk dijalankan oleh seorang pengelola dengan diimbangi sebagian keuntungannya dan pengelola melepaskan sebagian hasil labanya kepada pemilik uang. Ulama Hijaz menamakan mudharobah ini dengan muqaradhah.[1]
2.      Dasar Hukum Mudharobah :
1)      Al-Qur’an dalam surat Al-Muzzamil ayat 20
....وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ...
Artinya: “...Dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah...” (QS. Al-Muzzamil: 20)
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Apabila sholat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu dibumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah ayat 10)[2]
2)      Dalil As-Sunnah
عَنْ صُهَيْبٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : ثَلاَثٌ فِيهِنَّ الْبَرَكَةُ ، الْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ ، وَالْمُقَارَضَةُ ، وَأَخْلاَطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيرِ ، لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ.
Dari Shuhaib, bahwa Nabi bersabda: Ada tiga perkara yang di dalamnya terdapat keberkahan:  (1) jual beli tempo,(2) mudharobah,(3) mencampur gandum dengan jagung untuk makanan di rumah bukan untuk dijual. (HR. Ibnu Majah)[3]
3)      Dalil Ijma’
Sebagian sahabat menyerahkan harta anak yatim untuk di mudharobahkan . beliau itu antara lain Umar ibn Khaththab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Mas’ud, Abdullah ibn Umar, Abdillah ibn Amir, dan Aisyah.
4)      Dalil Logika
Mudharobah sangat diperlukan dalam masyarakat. Sebab seseorang kadang-kadang mempunyai harta untuk dijadikan usaha, tetapi tidak memiliki keahlian dalam mengambangkan usahanya dan sebaliknya ada yang mempunyai keahlian untuk membuka usaha, tetapi tidak memiliki modal maka dengan adanya kebolehan bentuk muamalah ini, kedua belah pihak akan terpenuhi kebutuhannya yang akan memberikan  kemaslahatan umat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.[4]
3.      Macam-macam Mudharobah
1)      Mudharobah muthlaq
Adalah akad mudharobah dimana pemilik modal memberikan modal kepada amil (pengelola) tanpa disertai dengan pembatasan.
2)      Mudharobah muqayyad
Adalah suatu akad mudharobah dimana pemilik modal memberikan ketentuan atau batasan.[5]
4.      Rukun  Mudharobah
Rukun akad mudharobah menurut Hanafiyah adalah ijab dan qabul yang dilakukan oleh orang yang layak melakukan akad.
Menurut jumhur ulama, rukun mudharobah ada tiga, yaitu:
a)    Aqid
b)   Ma’qud
c)    Shighat
Sedangka Syafi’iyah menyatakan bahwa rukun mudharobah ada lima, yaitu:
a)    Modal
b)   Tenaga (pekerjaan)
c)    Keuntungan
d)   Shighat
e)    Aqid[6]
5.      Syarat Mudharobah
1)      Modal harus tunai, apabila berbentuk emas atau perak batangan, perhiasan, atau barang dagangan maka tidak sah.
Ibnu Mundzir mengatakan, “Semua sepakat, orang-orang yang masih menjaga praktek mudharobah bahwa seseorang tidak boleh menjadikan piutang untuk mudharobah (sebagai modal).
2)      Modal diketahui dengan jelas sehingga dapat dibedakan antara modal dengan keuntungan yang akan dibagi untuk kedua belah pihak sesuai kesepakatan awal.
3)      Pembagian keuntungan mudharobah harus jelas prosentasinya, untuk pihak pekerja dan pemilik modal, seperti setengah, sepertiga, atau seperempat.
4)      Mudharobah harus bersifat mutlak, dalam akad mudharobah harus ada pensyaratan mengikat (perjanjian sebelumnya harus jelas).[7]
6.      Pembagian Keuntungan dalam Mudharobah menurut Ulama Mazhab
1)      Menurut hanafiyah
Pembagian keuntungan dalam mudharobah tidak sah sebelum pemilik modal menerima modal awal yang dijadikan untuk usaha secara keseluruhan. Jika pengelola modal belum mengembalikannya, pembagian keuntungan harus ditangguhkan sampai dikembalikan seluruhnya.
2)      Menurut Malikiyah
Ketetapan dalam pembagian keuntungan dalam pengelolaan modal tersebut tidak mengalami kerugian ketika digunakan untuk usaha. Jika mengalami kerugian, kerugian tersebut harus ditutup dengan keuntungan yang diperoleh. Hal ini berarti kerugian tersebut ditutup dengan modal dan kelebihannya dibagi antara pemilik modal dan pengelola modal sesuai denga perjanjian yang ditentukan.
3)      Menurut Syafi’iyah
Pembagian keuntungan yang dilakukan sebelum pemilik modal menerima modal hukumnya sah, kecuali jika pembagian keuntungan tersebut sebelum terjual seluruh harta niaganya.
4)      Menurut Hanabilah
Pengelola tidak dapat memiliki bagian keuntungan sebelum ia menyerahkan modal kepada pemilik modal dan sebelum kerugiannya ditutup dari keuntungan yang diperoleh.[8]
7.      Hal-hal yang dapat Membatalkan Mudharobah
1)      Pembatalan, larangan tassaruf dan pemecatan
Mudharobah dapat batal karena dibatalkan oleh para pihak, dihentikan kegiatannya, atau diberhentikan oleh pemilik modal dengan suatu ketentuan/sayarat tertentu
2)      Meninggalnya salah satu pihak
Apabila salah satu pihak baik pemilik modal maupun mudharib meninggal dunia, maka menurut jumhur ulama, mudharobah menjadi batal.
3)      Salah satu pihak terserang penyakit gila
Menurut jumhur ulama, apabila salah satu pihak terserang penyakit gila yang terus-menerus, maka mudharobah menjadi batal. Hal ini dikarenakan gila menghilangkan kecakapan (ahliyah).
4)      Harta mudharobah rusak ditangan mudharib
Apabila modal rusak atau hilang ditangan mudharib sebelum ia membeli sesuatu maka mudharobah menjadi batal. Hal tersebut dikarenakan sudah jelas modal telah diterima oleh mudharib untuk kepentingan akad mudharobah. Dengan demikian, akad mudharobah menjadi batal karena modalnya rusak atau hilang. Demikian pula halnya, mudharobah dianggap batal, apabila modal diberikan kepada orang lain atau dihabiskan sehingga tidak ada sedikitpun untuk dibelanjakan.[9]
8.      Hikmah Mudharobah
Hikmah mudharobah adalah mengangkat kemiskinan di kalangan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan merealisasikan bentuk kasih sayang antar sesama . bentuk kerja sama ini memiliki dua manfaat bagi pemilik modal.
Pertama, memperoleh pahala dari Allah SWT. Karena ia dapat mengangkat perekonomian orang yang tidak mempunyai modal  dengan tidak membiarkan seseorang dalam kemiskinan. Hal  ini jika kerja sama tersebut dilakukan dengan orang yang benar-benar tidak memiliki modal. Apabila yang diajak mudharobah itu orang kaya, hal itu membari faedah tukar-menukar manfaat. Kedua, bertambahnya uang, melimpahnya sumber keseahteraan hidup.
Adapun manfaat bagi pengelola adalah menghilangkan kesempitan usahanya sehingga menjadi sanggup bekerja dan mecari nafkah.[10]

B. MUSAQAH
1.      Pengertian Musaqah
Secara etimologi al-musaqah berarti transaksi dalam pengairan, yang oleh penduduk Madinah disebut dengan al-mu’amalah. Secara terminologis fiqh, al-musaqah didefinisikan oleh para ulama fiqh:
معاقدة دفع الاشجار إلى من يعمل فيها على أن الثمرة بينهما
“Penyerahan sebidang kebun pada petani untuk digarap dan dirawat dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu.”
Ulama Syafi’iyah medefinisikan dengan:
أن يعامل غيره على نخل أوشجر عنب فقط ليتعهده بالسقى والتربية على أن الثمرة لهما
“Mempekerjakan petani penggarap untuk menggarap kurma atau pohon anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya dan hasil kurma atau anggur itu dibagi bersama antara pemilik dengan petani penggarap."
Dengan  demikian, akad al-musaqah adalah sebuah bentuk kerjasama pemilik kebun dengan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kemudian segala sesuatu yang dihasilkan pihak kedua berupa buah adalah merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.[11]
2.      Dasar Hukum Musaqah
Musaqah menurut Hanafiyah sama dengan muzara’ah, baik hukum maupun syarat-syaratnya. Menurut Imam Abu Hanifah dan Zufar, musaqah dengan imbalan yang diambil dari sebagian hasil yang diperolehnya,  hukumya batal, karena hal itu termasuk akad sewa-menyewa yang sewanya dibayar dari hasilnya, dan hal tersebut dilarang oleh syara’, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi dari Rafi’ bin Khadij bahwa Nabi bersabda:
من كانت له أرض فليزرعها،ولايكرها بثلث ولابربع ولابطعام مسمى
“Barang siapa yang memiliki sebidang tanah, maka hendaklah ia menanaminya, dan janganlah ia menyewakannya dengan sepertiga dan tidak pula seperempat (dari hasilnya) dan tidak juga dengan makanan yang disebutkan (tertentu).” (Muttafaq alaih)
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan serta jumhur ulama (Maliki, Syafi’i, dan Ahmad), musaqah dibolehkan dengan beberapa syarat. Pendapat ini didasarkan kepada hadis Nabi:
عن ابنعمرأن النبي صلى الله عليه وأله وسلم عامل أهل خيبر بشطرما يخرج من ثمر أوزرع
“Dari Ibnu Umar bahwa Nabi bekerjasama dengan penduduk Khaibar (menyirami tanaman) dengan imbalan sparuh dari hasil yang diperoleh, baik berupa buah-buahan maupun pepohonan. (HR.Jama’ah)
Di samping itu, akad musaqah ini dibutuhkan oleh manusia karena terkadang di satu pihak pemilik pepohonan atau perkebunan tidak sempat atau tidak dapat mengurus dan merawatnya, sedangkan di pihak lain ada orang yang mampu dan sempat mengurus dan merawat pepohonan atau perkebunan, namun ia tidak memiliki pepohonan atau perkebunan tersebut.
Dengan demikian, pihak pertama memerlukan penggarap, sedangkan pihak lain (amil) memerlukan pekerjaan.[12]
3.      Rukun Musaqah
Menurut Hanafiah, rukun musaqah adalah ijab dan qabul. Ijab dinyatakan oleh pemilik pepohonan, sedangkan qabul dinyatakan oleh penggarap (amil atau muzari). Menurut Malikiyah, akad musaqah mengikat (lazim) dengan diucapkannya lafal ijab qabul, tidak dengan pekerjaan. Sedangkan menurut Hanabilah, musaqah sama dengan muzara’ah, tidak perlu ijab qabul dengan lafal, melainkan cukup dengan memulai penggarapan secara langsung. Syafi’iyah justru mesyaratkan adanya qabul dngan lafal.
Meurut jumhur ulama rukun musaqah ada tiga, yaitu:
1)      Aqidain
2)      Objek akad
3)      Sighat[13]
4.      Syarat Musaqah
1)      Pohon yag di musaqahkan dapat diketahui dengan melihat atau menerangkan sifat-sifat yang tidak berbeda dengan kenyataannya. Akad dinyatakan tidak sah apabila tidak diketahui dengan jelas.
2)      Jangka waktu yang di butuhkan diketahui dengan jelas.
3)      Akad harus dilakukan sebelum buah tampak, karena dengan keadaan seperti itu, pohon memerlukan penggarapan.
4)      Imbalan yang diterima oleh penggarap berupa buah diketahui dengan jelas, misalnya separuh atau sepertiga.[14]
5.      Berakhirnya Akad Musaqah
1)      Telah selesainya masa yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Dalam hubungan ini, Syafi’iyah berpendapat apabila buah keluar setelah habisnya masa musaqah maka penggarap tidak berhak untuk mengambilnya, karena masa penggarapan sudah habis. Akan tetapi menurut Hanafiyah, apabila sampai dengan habisnya masa musaqah, buah belum keluar atau belum masak maka berdasarkan istihsan, musaqah masih tetap berlaku sampai buah menjadi masak dan penggarap diberikan pilihan apakah mau berhenti atau terus bekerja tanpa diberi upah.
2)      Meninggalnya salah satu pihak, baik pemilik maupun penggarap.
Apabila pemilik yang meninggal maka penggarap harus melanjutkan pekerjaannya, walaupun ahli waris pemilik pohon tidak menyukainya. Apabila penggarap yang meninggal maka ahli warisnya berkewajiban mengurus buah tersebut sampai keluar hasilnya, walaupun pemilik pohon tidak menyukainya.
3)      Akad batal disebabkan iqalah secara jelas atau udzur.
Di antara udzur tersebut adalah
a.    Penggarap sakit sehingga ia tidak mampu bekerja
b.    Penggarap sedang bepergian
c.    Penggarap terkenal sebagai seorang pencuri yang di khawatirkan ia akan mencuri buah sebelum dipetik.[15]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Mudharobah adalah akad kerja sama dalam bentuk usaha dari yang memiliki modal (shahib al-mall) dengan pengelola modal (shahibu al-amal) dalam bentuk usaha perdagangan, perindustrian, dan sebagainya, dengan keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama, misalnya dibagi dua, dibagi tiga, atau dibagi empat. Tujuan  mudharobah adalah menghindari kebekuan modal orang yang mempunyai harta atau modal dan menghindari kesia-siaan keahlian seseorang yang kompeten di bidangnya, sementara ia tidak memiliki modal untuk memanfaatka skill yang dimilikinya.
Adapun dasar hukum mudharobah yaitu terdapat dalam QS. Al-Muzzamil ayat 20, dalil As-Sunnah, dalil ijma’ dan dalil logika. Macam-macam mudharobah yaitu mudharobah muthlaq dan mudharobah muqayyad. Selain itu, dalam melaksanakan akad mudharobah harus sesuai dengan rukun dan syaratnya.
Hikmah mudharobah adalah mengangkat kemiskinan di kalangan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan merealisasikan bentuk kasih sayang antar sesama . bentuk kerja sama ini memiliki dua manfaat bagi pemilik modal.
Akad al-musaqah adalah sebuah bentuk kerjasama pemilik kebun dengan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal. Musaqah menurut Hanafiyah sama dengan muzara’ah, baik hukum maupun syarat-syaratnya.


DAFTAR PUSTAKA

Khosyi’ah, Siah. 2014. Fiqh Muamalah Perbandingan. Bandung: Pustaka Setia.
Muslich, Ahmad Wardi. 2013. Fiqh Muamalat. Jakarta Amzah.
Sabiq, Sayyid. 2008. Fiqh Sunnah. Jakarta: Pena Pundi.
Haroen, Hasan. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.


[1] Siah Khosyi’ah, Fiqh Muamalah Perbandingan (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm. 151-152.
[2] Ibid., hlm. 153.
[3] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 367.
[4] Op.Cit., Siah Khosyi’ah, hlm. 154-155.

[5] Op.Cit., Ahmad Wardi Muslich, hlm. 371-371.
[6] Ibid., hlm. 371.
[7] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), hlm. 218-219.
[8] Op.Cit., Siah Khosyi’ah, hlm. 165-167.
[9] Op.Cit., Ahmad Wardi Muslich, hlm. 388-389.
[10] Op.Cit., Siah khosyi’ah, hlm. 155.
[11] Hasan Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 281-282.
[12] Op.Cit., Ahmad Wardi Muslich, hlm. 406-407.
[13] Ibid., 407
[14] Op.Cit., Sayyid Sabiq, hlm. 310.
[15] Op.Cit., Ahmad Wardi Muslich, hlm. 414-415.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar