BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari disaat
akan melakukan atapun melaksanakan suatu kerjasama dalam hal usaha penanaman
modal pasti menemui suatu persoalan yang rumit. Dimana kita baik sebagai
penanam modal ataupun penerima modal harus mengetahui hukum, rukun, atapun
syarat-syaratnya dalam menjalankan kerjama supaya mendapatkan hasil yang
memuaskan tanpa ada persoalan-persoalan yang timbul, yang membuat antara kedua
belah pihak berlawanan satu sama lain.
Dalam makalah ini akan dikaji
beberapa hal penting yang akan menambah pengetahuan kita seputar akad
mudharobah dan akab musaqoh. Dimana bahwasanya telah banyak persoalan yang
timbul dari praktik mudharobah dan musaqoh. Dalam makalah inipun akan dibahas
problematika apa saja yang muncul, dan kita dapat mempelajarinya serta
mengetahui hikmah yang terdapat didalamnya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diambil rumusan masalah
sebagai berikut:
1.
Bagaimana
definisi investasi, syaratnya dan problematika yang muncul?
2.
Bagaimana
definisi musaqoh, syaratnya dan problematika yang muncul?
BAB II
PEMBAHASAN
A. MUDHAROBAH
1.
Pengertian Mudharobah
Mudharobah adalah akad kerja sama
dalam bentuk usaha dari yang memiliki modal (shahib al-mall) dengan pengelola
modal (shahibu al-amal) dalam bentuk usaha perdagangan, perindustrian, dan
sebagainya, dengan keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama,
misalnya dibagi dua, dibagi tiga, atau dibagi empat.
Kalimat mudharobah berasal dari suku
kata dharbu, yang berarti bepergian, sebab dalam berdagang pun umumnya terdapat
bepergian. Arti ini terdapat dalam Allah surat An-Nisa’ ayat 101:
...وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ
Artinya: “Dan apabila kamu bepergian
di bumi......” (QS. An-Nisa’ :101)
Tujuan mudharobah adalah menghindari kebekuan modal
orang yang mempunyai harta atau modal dan menghindari kesia-siaan keahlian
seseorang yang kompeten di bidangnya, sementara ia tidak memiliki modal untuk
memanfaatka skill yang dimilikinya.
Mudharobah disebut juga dengan
qiradh, yang diambil dari kalimat qardhu, artinya putus. Disebut demikian
karena pemilik uang telah melepaskan sebagian uangnya untuk dijalankan oleh
seorang pengelola dengan diimbangi sebagian keuntungannya dan pengelola
melepaskan sebagian hasil labanya kepada pemilik uang. Ulama Hijaz menamakan
mudharobah ini dengan muqaradhah.[1]
2.
Dasar Hukum Mudharobah :
1)
Al-Qur’an
dalam surat Al-Muzzamil ayat 20
....وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ
اللَّهِ...
Artinya:
“...Dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah...” (QS.
Al-Muzzamil: 20)
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا
مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya:
“Apabila sholat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu dibumi; carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS.
Al-Jumu’ah ayat 10)[2]
2)
Dalil
As-Sunnah
عَنْ صُهَيْبٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ
وسَلَّمَ : ثَلاَثٌ فِيهِنَّ الْبَرَكَةُ ، الْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ ،
وَالْمُقَارَضَةُ ، وَأَخْلاَطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيرِ ، لِلْبَيْتِ لاَ
لِلْبَيْعِ.
Dari
Shuhaib, bahwa Nabi bersabda: Ada tiga perkara yang di dalamnya terdapat
keberkahan: (1) jual beli tempo,(2)
mudharobah,(3) mencampur gandum dengan jagung untuk makanan di rumah bukan
untuk dijual. (HR. Ibnu Majah)[3]
3)
Dalil
Ijma’
Sebagian
sahabat menyerahkan harta anak yatim untuk di mudharobahkan . beliau itu antara
lain Umar ibn Khaththab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn
Mas’ud, Abdullah ibn Umar, Abdillah ibn Amir, dan Aisyah.
4)
Dalil
Logika
Mudharobah
sangat diperlukan dalam masyarakat. Sebab seseorang kadang-kadang mempunyai
harta untuk dijadikan usaha, tetapi tidak memiliki keahlian dalam mengambangkan
usahanya dan sebaliknya ada yang mempunyai keahlian untuk membuka usaha, tetapi
tidak memiliki modal maka dengan adanya kebolehan bentuk muamalah ini, kedua
belah pihak akan terpenuhi kebutuhannya yang akan memberikan kemaslahatan umat dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya.[4]
3.
Macam-macam Mudharobah
1)
Mudharobah
muthlaq
Adalah
akad mudharobah dimana pemilik modal memberikan modal kepada amil (pengelola)
tanpa disertai dengan pembatasan.
2)
Mudharobah
muqayyad
Adalah
suatu akad mudharobah dimana pemilik modal memberikan ketentuan atau batasan.[5]
4.
Rukun Mudharobah
Rukun akad mudharobah menurut Hanafiyah adalah ijab dan qabul yang
dilakukan oleh orang yang layak melakukan akad.
Menurut jumhur ulama, rukun mudharobah ada tiga, yaitu:
a)
Aqid
b)
Ma’qud
c)
Shighat
Sedangka Syafi’iyah menyatakan bahwa rukun mudharobah ada lima,
yaitu:
a)
Modal
b)
Tenaga
(pekerjaan)
c)
Keuntungan
d)
Shighat
e)
Aqid[6]
5.
Syarat Mudharobah
1)
Modal
harus tunai, apabila berbentuk emas atau perak batangan, perhiasan, atau barang
dagangan maka tidak sah.
Ibnu
Mundzir mengatakan, “Semua sepakat, orang-orang yang masih menjaga praktek
mudharobah bahwa seseorang tidak boleh menjadikan piutang untuk mudharobah
(sebagai modal).
2)
Modal
diketahui dengan jelas sehingga dapat dibedakan antara modal dengan keuntungan
yang akan dibagi untuk kedua belah pihak sesuai kesepakatan awal.
3)
Pembagian
keuntungan mudharobah harus jelas prosentasinya, untuk pihak pekerja dan
pemilik modal, seperti setengah, sepertiga, atau seperempat.
4)
Mudharobah
harus bersifat mutlak, dalam akad mudharobah harus ada pensyaratan mengikat
(perjanjian sebelumnya harus jelas).[7]
6.
Pembagian Keuntungan dalam Mudharobah menurut Ulama Mazhab
1)
Menurut
hanafiyah
Pembagian
keuntungan dalam mudharobah tidak sah sebelum pemilik modal menerima modal awal
yang dijadikan untuk usaha secara keseluruhan. Jika pengelola modal belum
mengembalikannya, pembagian keuntungan harus ditangguhkan sampai dikembalikan
seluruhnya.
2)
Menurut
Malikiyah
Ketetapan
dalam pembagian keuntungan dalam pengelolaan modal tersebut tidak mengalami
kerugian ketika digunakan untuk usaha. Jika mengalami kerugian, kerugian
tersebut harus ditutup dengan keuntungan yang diperoleh. Hal ini berarti
kerugian tersebut ditutup dengan modal dan kelebihannya dibagi antara pemilik
modal dan pengelola modal sesuai denga perjanjian yang ditentukan.
3)
Menurut
Syafi’iyah
Pembagian
keuntungan yang dilakukan sebelum pemilik modal menerima modal hukumnya sah,
kecuali jika pembagian keuntungan tersebut sebelum terjual seluruh harta
niaganya.
4)
Menurut
Hanabilah
Pengelola
tidak dapat memiliki bagian keuntungan sebelum ia menyerahkan modal kepada
pemilik modal dan sebelum kerugiannya ditutup dari keuntungan yang diperoleh.[8]
7.
Hal-hal yang dapat Membatalkan Mudharobah
1)
Pembatalan,
larangan tassaruf dan pemecatan
Mudharobah
dapat batal karena dibatalkan oleh para pihak, dihentikan kegiatannya, atau
diberhentikan oleh pemilik modal dengan suatu ketentuan/sayarat tertentu
2)
Meninggalnya
salah satu pihak
Apabila
salah satu pihak baik pemilik modal maupun mudharib meninggal dunia, maka
menurut jumhur ulama, mudharobah menjadi batal.
3)
Salah
satu pihak terserang penyakit gila
Menurut
jumhur ulama, apabila salah satu pihak terserang penyakit gila yang terus-menerus,
maka mudharobah menjadi batal. Hal ini dikarenakan gila menghilangkan kecakapan
(ahliyah).
4)
Harta
mudharobah rusak ditangan mudharib
Apabila
modal rusak atau hilang ditangan mudharib sebelum ia membeli sesuatu maka
mudharobah menjadi batal. Hal tersebut dikarenakan sudah jelas modal telah
diterima oleh mudharib untuk kepentingan akad mudharobah. Dengan demikian, akad
mudharobah menjadi batal karena modalnya rusak atau hilang. Demikian pula
halnya, mudharobah dianggap batal, apabila modal diberikan kepada orang lain
atau dihabiskan sehingga tidak ada sedikitpun untuk dibelanjakan.[9]
8.
Hikmah Mudharobah
Hikmah mudharobah adalah mengangkat kemiskinan di kalangan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan merealisasikan bentuk kasih
sayang antar sesama . bentuk kerja sama ini memiliki dua manfaat bagi pemilik
modal.
Pertama, memperoleh pahala dari Allah SWT. Karena ia dapat
mengangkat perekonomian orang yang tidak mempunyai modal dengan tidak membiarkan seseorang dalam
kemiskinan. Hal ini jika kerja sama
tersebut dilakukan dengan orang yang benar-benar tidak memiliki modal. Apabila
yang diajak mudharobah itu orang kaya, hal itu membari faedah tukar-menukar
manfaat. Kedua, bertambahnya uang, melimpahnya sumber keseahteraan hidup.
Adapun manfaat bagi pengelola adalah menghilangkan kesempitan
usahanya sehingga menjadi sanggup bekerja dan mecari nafkah.[10]
B. MUSAQAH
1.
Pengertian Musaqah
Secara etimologi al-musaqah berarti transaksi dalam pengairan, yang
oleh penduduk Madinah disebut dengan al-mu’amalah. Secara terminologis fiqh,
al-musaqah didefinisikan oleh para ulama fiqh:
معاقدة دفع الاشجار إلى من يعمل فيها على أن الثمرة بينهما
“Penyerahan sebidang kebun pada petani untuk
digarap dan dirawat dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil
kebun itu.”
Ulama Syafi’iyah medefinisikan dengan:
أن يعامل غيره على نخل أوشجر عنب فقط ليتعهده بالسقى والتربية على أن
الثمرة لهما
“Mempekerjakan petani penggarap untuk
menggarap kurma atau pohon anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya dan
hasil kurma atau anggur itu dibagi bersama antara pemilik dengan petani
penggarap."
Dengan demikian, akad
al-musaqah adalah sebuah bentuk kerjasama pemilik kebun dengan petani penggarap
dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil
yang maksimal. Kemudian segala sesuatu yang dihasilkan pihak kedua berupa buah
adalah merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan
kesepakatan yang mereka buat.[11]
2.
Dasar Hukum Musaqah
Musaqah menurut Hanafiyah sama dengan muzara’ah, baik hukum maupun
syarat-syaratnya. Menurut Imam Abu Hanifah dan Zufar, musaqah dengan imbalan
yang diambil dari sebagian hasil yang diperolehnya, hukumya batal, karena hal itu termasuk akad
sewa-menyewa yang sewanya dibayar dari hasilnya, dan hal tersebut dilarang oleh
syara’, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi dari Rafi’ bin Khadij bahwa
Nabi bersabda:
من كانت له أرض
فليزرعها،ولايكرها بثلث ولابربع ولابطعام مسمى
“Barang siapa yang memiliki sebidang tanah,
maka hendaklah ia menanaminya, dan janganlah ia menyewakannya dengan sepertiga
dan tidak pula seperempat (dari hasilnya) dan tidak juga dengan makanan yang
disebutkan (tertentu).” (Muttafaq alaih)
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan serta jumhur ulama
(Maliki, Syafi’i, dan Ahmad), musaqah dibolehkan dengan beberapa syarat.
Pendapat ini didasarkan kepada hadis Nabi:
عن ابنعمرأن
النبي صلى الله عليه وأله وسلم عامل أهل خيبر بشطرما يخرج من ثمر أوزرع
“Dari Ibnu Umar bahwa Nabi bekerjasama dengan penduduk Khaibar
(menyirami tanaman) dengan imbalan sparuh dari hasil yang diperoleh, baik
berupa buah-buahan maupun pepohonan. (HR.Jama’ah)
Di samping itu, akad musaqah ini dibutuhkan oleh manusia karena
terkadang di satu pihak pemilik pepohonan atau perkebunan tidak sempat atau
tidak dapat mengurus dan merawatnya, sedangkan di pihak lain ada orang yang
mampu dan sempat mengurus dan merawat pepohonan atau perkebunan, namun ia tidak
memiliki pepohonan atau perkebunan tersebut.
Dengan demikian, pihak pertama memerlukan penggarap, sedangkan
pihak lain (amil) memerlukan pekerjaan.[12]
3.
Rukun Musaqah
Menurut Hanafiah, rukun musaqah adalah ijab dan qabul. Ijab
dinyatakan oleh pemilik pepohonan, sedangkan qabul dinyatakan oleh penggarap
(amil atau muzari). Menurut Malikiyah, akad musaqah mengikat (lazim) dengan
diucapkannya lafal ijab qabul, tidak dengan pekerjaan. Sedangkan menurut
Hanabilah, musaqah sama dengan muzara’ah, tidak perlu ijab qabul dengan lafal,
melainkan cukup dengan memulai penggarapan secara langsung. Syafi’iyah justru
mesyaratkan adanya qabul dngan lafal.
Meurut jumhur ulama rukun musaqah ada tiga, yaitu:
1)
Aqidain
2)
Objek
akad
3)
Sighat[13]
4.
Syarat Musaqah
1)
Pohon
yag di musaqahkan dapat diketahui dengan melihat atau menerangkan sifat-sifat
yang tidak berbeda dengan kenyataannya. Akad dinyatakan tidak sah apabila tidak
diketahui dengan jelas.
2)
Jangka
waktu yang di butuhkan diketahui dengan jelas.
3)
Akad
harus dilakukan sebelum buah tampak, karena dengan keadaan seperti itu, pohon
memerlukan penggarapan.
4)
Imbalan
yang diterima oleh penggarap berupa buah diketahui dengan jelas, misalnya
separuh atau sepertiga.[14]
5.
Berakhirnya Akad Musaqah
1)
Telah
selesainya masa yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Dalam
hubungan ini, Syafi’iyah berpendapat apabila buah keluar setelah habisnya masa
musaqah maka penggarap tidak berhak untuk mengambilnya, karena masa penggarapan
sudah habis. Akan tetapi menurut Hanafiyah, apabila sampai dengan habisnya masa
musaqah, buah belum keluar atau belum masak maka berdasarkan istihsan, musaqah
masih tetap berlaku sampai buah menjadi masak dan penggarap diberikan pilihan
apakah mau berhenti atau terus bekerja tanpa diberi upah.
2)
Meninggalnya
salah satu pihak, baik pemilik maupun penggarap.
Apabila
pemilik yang meninggal maka penggarap harus melanjutkan pekerjaannya, walaupun
ahli waris pemilik pohon tidak menyukainya. Apabila penggarap yang meninggal
maka ahli warisnya berkewajiban mengurus buah tersebut sampai keluar hasilnya,
walaupun pemilik pohon tidak menyukainya.
3)
Akad
batal disebabkan iqalah secara jelas atau udzur.
Di
antara udzur tersebut adalah
a.
Penggarap
sakit sehingga ia tidak mampu bekerja
b.
Penggarap
sedang bepergian
c.
Penggarap
terkenal sebagai seorang pencuri yang di khawatirkan ia akan mencuri buah
sebelum dipetik.[15]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mudharobah adalah akad kerja sama
dalam bentuk usaha dari yang memiliki modal (shahib al-mall) dengan pengelola
modal (shahibu al-amal) dalam bentuk usaha perdagangan, perindustrian, dan
sebagainya, dengan keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama,
misalnya dibagi dua, dibagi tiga, atau dibagi empat. Tujuan mudharobah adalah menghindari kebekuan modal
orang yang mempunyai harta atau modal dan menghindari kesia-siaan keahlian
seseorang yang kompeten di bidangnya, sementara ia tidak memiliki modal untuk
memanfaatka skill yang dimilikinya.
Adapun dasar hukum mudharobah yaitu
terdapat dalam QS. Al-Muzzamil ayat 20, dalil As-Sunnah, dalil ijma’ dan dalil
logika. Macam-macam mudharobah yaitu mudharobah muthlaq dan mudharobah
muqayyad. Selain itu, dalam melaksanakan akad mudharobah harus sesuai dengan
rukun dan syaratnya.
Hikmah mudharobah adalah mengangkat kemiskinan di kalangan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan merealisasikan bentuk kasih
sayang antar sesama . bentuk kerja sama ini memiliki dua manfaat bagi pemilik
modal.
Akad al-musaqah adalah sebuah bentuk kerjasama pemilik kebun dengan
petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga
memberikan hasil yang maksimal. Musaqah menurut Hanafiyah sama dengan
muzara’ah, baik hukum maupun syarat-syaratnya.
DAFTAR PUSTAKA
Khosyi’ah,
Siah. 2014. Fiqh Muamalah Perbandingan. Bandung: Pustaka Setia.
Muslich, Ahmad Wardi. 2013. Fiqh Muamalat. Jakarta Amzah.
Sabiq, Sayyid. 2008. Fiqh Sunnah. Jakarta: Pena Pundi.
Haroen, Hasan. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
[1]
Siah Khosyi’ah, Fiqh Muamalah Perbandingan (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm.
151-152.
[2]
Ibid., hlm. 153.
[3]
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 367.
[4]
Op.Cit., Siah Khosyi’ah, hlm. 154-155.
[5]
Op.Cit., Ahmad Wardi Muslich, hlm. 371-371.
[6]
Ibid., hlm. 371.
[7]
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), hlm.
218-219.
[8]
Op.Cit., Siah Khosyi’ah, hlm. 165-167.
[9]
Op.Cit., Ahmad Wardi Muslich, hlm. 388-389.
[10]
Op.Cit., Siah khosyi’ah, hlm. 155.
[11]
Hasan Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm.
281-282.
[12]
Op.Cit., Ahmad Wardi Muslich, hlm. 406-407.
[13]
Ibid., 407
[14]
Op.Cit., Sayyid Sabiq, hlm. 310.
[15]
Op.Cit., Ahmad Wardi Muslich, hlm. 414-415.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar