PERADABAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN ABBASIYAH - Ainuz Zulfa

Latest

Sabtu, 11 Maret 2017

PERADABAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN ABBASIYAH

Get Ms. Word
 

A.    PENDAHULUAN
Dengan berakhirnya kerajaan Umayyah pada tahun 132 H,  dilandasi dengan penaklukan yang dilakukan oleh Abbasiyah terhadap penguasa Umayyah, yaitu Yazid bin Umar bin Hubairah. Dengan demikian, tumbanglah kekuasaan kerajaan Umayyah dan berdirilah kerajaan Abbasiyah yang dipimpin oleh khalifah pertamanya, yaitu Abul Abbas Ash-Shaffah dengan pusat kekuasaan awalnya di Kufah. Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasan secara politis maupun agama. Puncak kejayaan dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun ar-Rasyid (786-809 M) dan anaknya al-Makmun (813-833 M).


 
B.     PEMBAHASAN
1.      Sejarah Kelahiran Kerajaan Abbasiyah
Pemerintahan Dinasti Abbasiyah dinisbatkan kepada Al-Abbas, paman Rasulullah SAW, sementara khalifah pada pemerintahan ini adalah Abdullah Ash-Shaffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib.
Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M, oleh Abul Abbas Ash-Shafah, dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, yaitu selama lima abad dari tahun 132-656 H (750 M – 1258 M). Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh Bani Hasyim (Alawiyun) setelah meninggalnya Rasulullah dengan mengatakan bahwa yang berhak untuk berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan anak-anaknya.
Sebelum berdirinya Dinasti Abbasiyah terdapat tiga poros utama yang merupakan pusat kegiatan, antara satu dengan yang lain memiliki kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman Rasulullah SAW, Abbas bin Abdul Muthalib. Dari nama Al-Abbas paman Rasulullah inilah nama ini disandarkan pada tiga tempat pusat kegiatan, yaitu Humaimah, Kufah, dan Khurasan. Humaimah merupakan tempat yang tenteram, bermukim di kota itu keluarga Bani Hasyim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun kalangan pendukung Abbas. Kufah merupakan wilayah yang penduduknya menganut aliran Syi’ah, pendukung Ali bin Abi Thalib, yang selalu bergolak dan ditindas oleh Bani Umayyah. Khurasan memiliki warga yang pemberani, kuat fisik, teguh pendirian, tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung terhadap kepercayaan yang menyimpang, di sanalah diharapkan dakwah kaum Abbasiyah mendapat dukungan.
Di kota Humaimah bermukim keluarga Abbasiyah, salah seorang pimpinannya bernama Al-Imam Muhammad bin Ali yang merupakan peletak dasar-dasar bagi berdirinya Dinasti Abbasiyah. Ia menyiapkan strategi perjuangan menegakkan kekuasaan atas nama keluarga Rasulullah SAW. Para penerang dakwah Abbasiyah berjumlah 150 orang di bawah para pimpinannya yang berjumlah 12 orang dan puncak pimpinannya adalah Muhammad bin Ali.
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia. Akan tetapi, Imam Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan Dinasti Umayyah dan dipenjara di Haran sebelum akhirnya diekskusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya Abul Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika tahu bahwa ia akan terbunuh, dan memerintahkan untuk kembali ke Kufah. Sedangkan pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu Salamah. Segeralah Abul Abbas pindah dari Humaimah ke Kufah diiringi oleh para pembesar Abbasiyah yang lain seperti Abu Ja’far, Isa bin Musa, dan Abdullah bin Ali.        
Penguasa Umayyah di Kufah, Yazid bin Umar bin Hubairah, ditaklukkan oleh Abbasiyah dan diusir ke Wasit. Abu Salamah selanjutnya berkemah di Kufah yang telah ditaklukkan pada tahun 132 H. Abdullah bin Ali, salah seorang paman Abul Abbas diperintahkan untuk mengejar khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad bersama pasukannya yang melarikan diri, dimana akhirnya dapat dipukul di dataran rendah sungai Zab. Pengejaran dilanjutkan ke Mausul, Harran dan menyebrangi sungai Eufrat sampai ke Damaskus. Khalifah itu melarikan diri hingga ke Fustat di Mesir, dan akhirnya terbunuh di Busir, wilayah al-Fayyum, tahun 132 H/750 M di bawah pimpinan Salih bin Ali, seorang paman al-Abbas yang lain. Dengan demikian, maka tumbanglah kekuasaan Dinasti Umayyah dan berdirilah Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh khlifah pertamanya, yaitu Abul Abbas Ash-Shaffah dengan pusat kekuasaan wilayahnya di Kufah.[1]

2.      Perkembangan Politik dan Aliran Keagamaan
Jatuhnya dinasti Umayyah merupakan awal berdirinya dinasti Abbasiyah. Sebagai kekuatan baru yang mulai tumbuh dan ditetapkan diatas puing-puing kehancuran dinasti Umayyah. Adapun langkah-langkah yang dilakukan pemerintahaan Abbasiyah antara lain:
a.       Melenyapkan kekuatan dinasti Umayyah yang tersisa
Pada saat kekuasaan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus dibawah pemerintahan khalifah Marwan II, pada waktu itu terdapat dualisme kekuasaan. Pertama, kekuasaan dinasti Umayyah yang tengah berada dalam keadaan lemah akan tetapi dipandang ancaman serius bagi kedaulatan Abbasiyah. Sedangkan yang kedua adalah kekuasaan Abbasiyah yang sudah kuat.
Kenyataan diatas menjadikan pertempuran yang sangat dahsyat antara pasukan Abbasiyah melawan pasukan Umayyah yang berjumlah 120.000 orang, akan tetapi semangat perang yang dimiliki pasukan  Abbasiyah sangat tinggi sehingga mereka dapat mengalahkan pasukan Umayyah.
b.      Memadamkan upaya-upaya gerakan pemberontakan
Pada kedaulatan Abbasiyah muncul beberapa gerakan atau pemeberontakan, setidaknya ada tiga bentuk gerakan yang dihadapi oleh khalifah Al-Mansur pada dinasti ini. Ketiga gerakan tersebut adalah gerakan Abdullah bin Ali, gerakan Abu Muslim Al-Khurasani, dan gerakan yang dilakukan oleh kalangan Syi’ah.
a.       Abdullah bin Ali
Abdullah bin Ali adalah orang yang berjasa dalam pembunuhan Marwan II pada kekuasaan Umayyah, ia dijanjikan oleh Abu Abbas untuk menggantikannya sebagai khalifah. Akan tetapi setelah sepeninggalan Abu Abbas, ia tidak menunjuk Abdullah bin Ali akan tetapi ia menunjuk Abu Ja’far Al-Mansur sebagai khalifah sehingga muncul pemberontakan Abdullah bin Ali.
b.      Abu Muslim Al-Khurasani
Abu Muslim Al-Khurasani juga merupakan orang yang berjasa dalam pendirian daulat Abbasiyah. Dialah orang yang memiliki kemampuan menggalang kekuatan didaerah Khurasan untuk menggulingkan kekuasaan Umayyah. Akan tetapi, pada saat itu khalifah Al-Mansur khawatir karena Abu Muslim Al-Khurasani terlihat mempunyai keinginan untuk menjadi seorang khalifah sehinngga khalifah Al-Mansur tidak segan-segan menjalankan politik kejinya dan membunuh Abu  Muslim Al-Khurasani.
c.       Gerakan Syi’ah
Pada awalnya, kelompok Syi’ah bergabung dengan kelompok Abbasiyah karena tidak suka terhadap pemerintahan Umayyah yang dianggap merampas hak kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Kedua kelompok terjalin kerjasama, di mana selain didorong oleh perasaan senasib, yakni sama-sama mendapat tekanan dan intimidasi dari pihak penguasa Umayyah, juga karena kecerdikan politik bani Abbas yang dapat mengakomodir pemikiran Syi’ah di dalam gerakan mereka. Gerakannya bani Abbas mengusung pernyataan bahwa gerakan mereka dilakukan atas nama dari keluarga Muhammad yang didukung. Karenanya, gerakan ini sekaligus akan melegitimasi hak ahlu al-Bait terhadap jabatan khalifah sebagaimna yang dianut oleh kalangan Syi’ah. Upaya politik bani Abbas ini ternyata ampuh untuk merekrut kekuatan Syi’ah.
Meskiun daulat Umayyah sudah tumbang dan kekuasaan beralih ke tangan bani Abbas, tetapi perkembangan selanjutnya memperlihatkan bahwa apa yang diinginkan oleh kalangan Syi’ah tidak kunjung tiba. Bani Abbas ternyata hanya membuat langkah politik untuk menancapkan dan mengokohkan kekuasaannya di atas bekas wilayah kekuasaan Umayyah. Akibat dari kenyataan ini adalah munculnya gerakan-gerakan pemberontakan dari kalangan Syi’ah melawan kekuasaan Bani Abbas yang sedang berkuasa.[2]
Aliran Agama
Fanatisme keagamaan juga mengakibatkan persoalan keagamaan seperti syi’ah, sunni, mu’tazilah dan kelompok-kelompok garis keras yang menjadikan pemerintah Abbasiyah mengalami kesulitan untuk menyatukan pemahaman.
Kekecewaan orang persia terhadap cita-cita yang tak tercapai mendorong sebagian mereka mempropogandakan ajaran mezuisme zoroasterisme dan mazzdaktisme. Antara orang beriman dan kaum zindiq terjadi konflik bersenjata, seperti gerakan al-Afsyn dan Qaramitah. Adanya konflik antara ahlusunnah dan syi’ah. Terjadi mihnah pada masa al-maakmun yang menjadikan mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara. Lalu, al-Mutawakil menghapus mu’tazilah dan digantikan dengan golongan salaf pengikut Hambali yang tidak toleran terhadap mu’tazilah yang rasional.[3]

3.      Masa Kejayaan Peradaban Kerajaan Abbasiyah
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasan secara politis maupun agama. Disisi lain, kemakmuran masyarakat juga mencapai tingkat tertinggi. Karena pada periode ini dinasti Abbasiyah lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah.
Puncak kejayaan dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun ar-Rasyid (786-809 M) dan anaknya al-Makmun (813-833 M). Pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid, negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin walaupun ada juga pemberontakan dan luas wilayahnya mulai dari Afrika utara hingga India.
Pada masanya hidup pula para filsuf, pujangga,ahli baca Al-Quran dan para ulama dibidang agama. Didirikan sebuah perpustakaan yang diberi nama Baitul Hikmah dimana di dalamnya orang dapat membaca, menulis, berdiskusi dan berkembang pula ilmu pengetahuan agama seperti ilmu al-Qur’at, qira’at, hadis, fiqih, ilmu kalam, bahasa dan sastra. Disamping itu berkembang pula ilmu filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geografi, aljabar, aritmatika, mekanika, astronomi, musik, kedokteran dan kimia.
Pada masa pemerintahan Al-makmun pengaruh yunani sangat kuat. Diantara para penerjemah yang masyhur saat itu adalah hunain bin ishak, seorang kristen nestorian yang banyak menerjemahkan buku-buku berbahasa yunani ke bahasa arab. Yang menerjemahkan kitab republik dari plato, dan kitab kategori, metafisika, makna moralia dari aristoteles. Al-Khawarizmi menyusun ringkasan astronomi berdasarkan ilmu yunani dan india.
Lembaga pendidikan pada masa dinasti Abassiyah mengalami perkembangan dan kemajuan sangat pesat. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak masa bani umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan.[4]
Bani Abassiyah mencapai puncak keemasannya karena terdapat beberapa faktor diantaranya:
a.       Islam makin meluas, tidak di Damaskus tetapi di Baghdad.
b.      Orang-orang di luar islam dipakai untuk menduduki instansi pemerintahan.
c.       Pemerintaha Abassiyah membentuk tim penerjemah bahassa yunani ke bahas arab.
d.      Sebagai penerjemah memberikan pendapatnya.
e.       Rakyat bebas berfikir serta memperoleh hak asasinya dalam segala bidang
f.       Adanya perkembangan ilmu pengetahuan.
g.      Dalam penyelenggaraan negara dalam masa bani abbas ada jabatan wazir.
h.      Ketentuan profesional baru terbentuk pada masa pemerintah bani Abbas.[5]

4.      Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Sastra
Abad X masehi disebut abad pembangunan daulah islamiyah dimana dunia islam, mulai dan Cordon di Spanyol sampai ke Multan di Pakistan, mengalami kebangunan di segala bidang, terutama dalam bidang berbagai macam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Dunia islam pada waktu itu dalam keadaan maju, jaya, makmur; sebaliknya dunia barat masih dalam keadaan gelap, bodoh, dan primitif dunia islam sudah sibuk mengadakan penyelidikan di laboratorium dan observatorium.; dunia barat masih asik dengan jampi-jampi dan dewa-dewa. Hal ini disebabkan agama yang dibawa nabi Muhammad telah menimbulkan dorongan untuk menumbuhkan suatu kebudayaan baru yaitu kebudayaan islam. Dorongan itu mula-mula menggerakkan terciptanya ilmu-ilmu pengetahuan dalam lapangan agama (ilmu naqli), bermunculanlah ilmu-ilmu agama dalam berbagai bidang. Kemudian, ketika umat islam keluar dan jazirah arab mereka menemukan perbendaharaan Yunani. Dorongan dari agama ditambah pengaruh dari perbendaharaan Yunani menimbulkan dorongan untuk munculnya berbagai ilmu pengetahuan di bidang akal (ilmu aqli).
Gerakan membangun ilmu secara besar-besaran dirintis oleh khalifah Ja’far al-Mansur. Setelah ia mendirikan kota Bagdad (144 H/ 762 M) dan menjadikannya sebagai ibukota negara. Ia menarik banyak ulama dan para ahli dan berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Baghdad. Ia merangsang usaha pembukuan ilmu agama, seperti fiqih, tafsir, tauhid, hadits, atau ilmu lain seperti ilmu bahasa dan ilmu sejarah. Akan tetapi yang lebih mendapatkan perhatian adalah penterjemahan buku ilmu yang berasal dari luar.[6]
Sastra
Perkembangan seni bahasa, baik puisi maupun prosa, mengalami kemajuan yang cukup berarti. Berbeda dengan penyair masa pemerintahan dinasti Umayyah yang masih kental dalam keaslian warna arabnya, sastrawan pada zaman pemerintahan Abbasiyah telah melakukan peubahan dengan mengkombinasikan dengan sesuatu yang bukan berasal dari tradisi Arab. Oleh karena itu, wajar jika kemudian pada masa ini banyak bermunculan penyair terkenal.
Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah juga telah terjadi perkembangan yang sangat menarik dalam bidang prosa. Banyak buku sastra novel, riwayat, kumpulan nasehat, dan urain-urain sastra yang dikarang atau disalin dari bahasa asing. Berikut tokoh-tokohnya:
·         Abdullah bin Muqaffa
·         Abdul Hamid al-Katib
·         Al-Jabidb
·         Ibnu Qutaibab
·         Abu al-Faraj al-Isfahani

·         Firdawsi
·         Al-Jasyiari
·         Imam Sibawayhi
·         Abu Nawas
·         Ibnu Rumy[7]


C.    PENUTUP
Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M, oleh Abul Abbas Ash-Shafah, dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, yaitu selama lima abad dari tahun 132-656 H (750 M – 1258 M).
Adapun langkah-langkah yang dilakukan pemerintahaan Abbasiyah antara lain:
a.       Melenyapkan kekuatan dinasti Umayyah yang tersisa
b.      Memadamkan upaya-upaya gerakan pemberontakan
Dalam kerajaan Abbasiyah banyak bermunculan  aliran keagamaan seperti, syi’ah, sunni, mu’tazilah dan kelompok-kelompok. 
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasan secara politis maupun agama. Puncak kejayaan dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun ar-Rasyid (786-809 M) dan anaknya al-Makmun (813-833 M). Banyak pula ilmu-ilmu yang berkembang, antara lain ilmu naql dan ilmu aql. Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah juga telah terjadi perkembangan yang sangat menarik dalam bidang prosa.


DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Al-Azizi, Abdul Syukur. 2014. Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap. Jogjakarta: Saufa.
Fu’adi , Imam. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Yokyakarta: Teras.
Syukur, Fatah. 2012. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Sunanto, Musyrifah. 2013. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Prenada Media.



[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 138-140.
[2] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam (Yokyakarta: Teras, 2011), hlm. 114-121.
[3] Abdul Syukur Al-Azizi, kitab sejarah peradaban islam terlengkap (jogjakarta: Saufa, 2014), hlm. 222-223.
[4] Ibid., hlm. 144-145
[5] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm. 102-103.
[6] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta: Prenada Media, 2013), hlm. 54-58.
[7] Op.Cit., Abdul Syukur Al-Azizi, hlm. 212-213.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar