A.
PENDAHULUAN
Dengan berakhirnya kerajaan Umayyah
pada tahun 132 H, dilandasi dengan
penaklukan yang dilakukan oleh Abbasiyah terhadap penguasa Umayyah, yaitu Yazid
bin Umar bin Hubairah. Dengan demikian, tumbanglah kekuasaan kerajaan Umayyah
dan berdirilah kerajaan Abbasiyah yang dipimpin oleh khalifah pertamanya, yaitu
Abul Abbas Ash-Shaffah dengan pusat kekuasaan awalnya di Kufah. Pada periode
pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasan secara politis
maupun agama. Puncak kejayaan dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah
Harun ar-Rasyid (786-809 M) dan anaknya al-Makmun (813-833 M).
B.
PEMBAHASAN
1.
Sejarah Kelahiran Kerajaan Abbasiyah
Pemerintahan Dinasti Abbasiyah
dinisbatkan kepada Al-Abbas, paman Rasulullah SAW, sementara khalifah pada
pemerintahan ini adalah Abdullah Ash-Shaffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah
bin Abbas bin Abdul Muthalib.
Dinasti Abbasiyah didirikan pada
tahun 132 H/750 M, oleh Abul Abbas Ash-Shafah, dan sekaligus sebagai khalifah
pertama. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang, yaitu selama lima abad dari tahun 132-656 H (750 M – 1258 M).
Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang pernah
dikumandangkan oleh Bani Hasyim (Alawiyun) setelah meninggalnya Rasulullah
dengan mengatakan bahwa yang berhak untuk berkuasa adalah keturunan Rasulullah
dan anak-anaknya.
Sebelum berdirinya Dinasti Abbasiyah
terdapat tiga poros utama yang merupakan pusat kegiatan, antara satu dengan
yang lain memiliki kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk
menegakkan kekuasaan keluarga besar paman Rasulullah SAW, Abbas bin Abdul
Muthalib. Dari nama Al-Abbas paman Rasulullah inilah nama ini disandarkan pada
tiga tempat pusat kegiatan, yaitu Humaimah, Kufah, dan Khurasan. Humaimah
merupakan tempat yang tenteram, bermukim di kota itu keluarga Bani Hasyim, baik
dari kalangan pendukung Ali maupun kalangan pendukung Abbas. Kufah merupakan
wilayah yang penduduknya menganut aliran Syi’ah, pendukung Ali bin Abi Thalib,
yang selalu bergolak dan ditindas oleh Bani Umayyah. Khurasan memiliki warga
yang pemberani, kuat fisik, teguh pendirian, tidak mudah terpengaruh nafsu dan
tidak mudah bingung terhadap kepercayaan yang menyimpang, di sanalah diharapkan
dakwah kaum Abbasiyah mendapat dukungan.
Di kota Humaimah bermukim keluarga
Abbasiyah, salah seorang pimpinannya bernama Al-Imam Muhammad bin Ali yang
merupakan peletak dasar-dasar bagi berdirinya Dinasti Abbasiyah. Ia menyiapkan
strategi perjuangan menegakkan kekuasaan atas nama keluarga Rasulullah SAW.
Para penerang dakwah Abbasiyah berjumlah 150 orang di bawah para pimpinannya
yang berjumlah 12 orang dan puncak pimpinannya adalah Muhammad bin Ali.
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan
dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia. Akan tetapi, Imam
Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah,
gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad.
Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan Dinasti Umayyah dan dipenjara di Haran
sebelum akhirnya diekskusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya Abul Abbas untuk
menggantikan kedudukannya ketika tahu bahwa ia akan terbunuh, dan memerintahkan
untuk kembali ke Kufah. Sedangkan pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu
Salamah. Segeralah Abul Abbas pindah dari Humaimah ke Kufah diiringi oleh para
pembesar Abbasiyah yang lain seperti Abu Ja’far, Isa bin Musa, dan Abdullah bin
Ali.
Penguasa Umayyah di Kufah, Yazid bin
Umar bin Hubairah, ditaklukkan oleh Abbasiyah dan diusir ke Wasit. Abu Salamah
selanjutnya berkemah di Kufah yang telah ditaklukkan pada tahun 132 H. Abdullah
bin Ali, salah seorang paman Abul Abbas diperintahkan untuk mengejar khalifah
Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad bersama pasukannya yang melarikan diri,
dimana akhirnya dapat dipukul di dataran rendah sungai Zab. Pengejaran
dilanjutkan ke Mausul, Harran dan menyebrangi sungai Eufrat sampai ke Damaskus.
Khalifah itu melarikan diri hingga ke Fustat di Mesir, dan akhirnya terbunuh di
Busir, wilayah al-Fayyum, tahun 132 H/750 M di bawah pimpinan Salih bin Ali,
seorang paman al-Abbas yang lain. Dengan demikian, maka tumbanglah kekuasaan
Dinasti Umayyah dan berdirilah Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh khlifah
pertamanya, yaitu Abul Abbas Ash-Shaffah dengan pusat kekuasaan wilayahnya di
Kufah.[1]
2.
Perkembangan Politik dan Aliran Keagamaan
Jatuhnya dinasti Umayyah merupakan
awal berdirinya dinasti Abbasiyah. Sebagai kekuatan baru yang mulai tumbuh dan
ditetapkan diatas puing-puing kehancuran dinasti Umayyah. Adapun langkah-langkah
yang dilakukan pemerintahaan Abbasiyah antara lain:
a.
Melenyapkan
kekuatan dinasti Umayyah yang tersisa
Pada
saat kekuasaan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus dibawah pemerintahan
khalifah Marwan II, pada waktu itu terdapat dualisme kekuasaan. Pertama,
kekuasaan dinasti Umayyah yang tengah berada dalam keadaan lemah akan tetapi
dipandang ancaman serius bagi kedaulatan Abbasiyah. Sedangkan yang kedua
adalah kekuasaan Abbasiyah yang sudah kuat.
Kenyataan
diatas menjadikan pertempuran yang sangat dahsyat antara pasukan Abbasiyah
melawan pasukan Umayyah yang berjumlah 120.000 orang, akan tetapi semangat
perang yang dimiliki pasukan Abbasiyah
sangat tinggi sehingga mereka dapat mengalahkan pasukan Umayyah.
b.
Memadamkan
upaya-upaya gerakan pemberontakan
Pada
kedaulatan Abbasiyah muncul beberapa gerakan atau pemeberontakan, setidaknya
ada tiga bentuk gerakan yang dihadapi oleh khalifah Al-Mansur pada dinasti ini.
Ketiga gerakan tersebut adalah gerakan Abdullah bin Ali, gerakan Abu Muslim
Al-Khurasani, dan gerakan yang dilakukan oleh kalangan Syi’ah.
a.
Abdullah
bin Ali
Abdullah
bin Ali adalah orang yang berjasa dalam pembunuhan Marwan II pada kekuasaan
Umayyah, ia dijanjikan oleh Abu Abbas untuk menggantikannya sebagai khalifah.
Akan tetapi setelah sepeninggalan Abu Abbas, ia tidak menunjuk Abdullah bin Ali
akan tetapi ia menunjuk Abu Ja’far Al-Mansur sebagai khalifah sehingga muncul
pemberontakan Abdullah bin Ali.
b.
Abu
Muslim Al-Khurasani
Abu
Muslim Al-Khurasani juga merupakan orang yang berjasa dalam pendirian daulat
Abbasiyah. Dialah orang yang memiliki kemampuan menggalang kekuatan didaerah
Khurasan untuk menggulingkan kekuasaan Umayyah. Akan tetapi, pada saat itu
khalifah Al-Mansur khawatir karena Abu Muslim Al-Khurasani terlihat mempunyai
keinginan untuk menjadi seorang khalifah sehinngga khalifah Al-Mansur tidak segan-segan
menjalankan politik kejinya dan membunuh Abu
Muslim Al-Khurasani.
c.
Gerakan
Syi’ah
Pada
awalnya, kelompok Syi’ah bergabung dengan kelompok Abbasiyah karena tidak suka
terhadap pemerintahan Umayyah yang dianggap merampas hak kekhalifahan Ali bin
Abi Thalib. Kedua kelompok terjalin kerjasama, di mana selain didorong oleh
perasaan senasib, yakni sama-sama mendapat tekanan dan intimidasi dari pihak
penguasa Umayyah, juga karena kecerdikan politik bani Abbas yang dapat
mengakomodir pemikiran Syi’ah di dalam gerakan mereka. Gerakannya bani Abbas
mengusung pernyataan bahwa gerakan mereka dilakukan atas nama dari keluarga
Muhammad yang didukung. Karenanya, gerakan ini sekaligus akan melegitimasi hak
ahlu al-Bait terhadap jabatan khalifah sebagaimna yang dianut oleh kalangan
Syi’ah. Upaya politik bani Abbas ini ternyata ampuh untuk merekrut kekuatan
Syi’ah.
Meskiun daulat
Umayyah sudah tumbang dan kekuasaan beralih ke tangan bani Abbas, tetapi
perkembangan selanjutnya memperlihatkan bahwa apa yang diinginkan oleh kalangan
Syi’ah tidak kunjung tiba. Bani Abbas ternyata hanya membuat langkah politik
untuk menancapkan dan mengokohkan kekuasaannya di atas bekas wilayah kekuasaan
Umayyah. Akibat dari kenyataan ini adalah munculnya gerakan-gerakan
pemberontakan dari kalangan Syi’ah melawan kekuasaan Bani Abbas yang sedang
berkuasa.[2]
Aliran
Agama
Fanatisme keagamaan juga
mengakibatkan persoalan keagamaan seperti syi’ah, sunni, mu’tazilah dan
kelompok-kelompok garis keras yang menjadikan pemerintah Abbasiyah mengalami kesulitan
untuk menyatukan pemahaman.
Kekecewaan orang persia terhadap
cita-cita yang tak tercapai mendorong sebagian mereka mempropogandakan ajaran
mezuisme zoroasterisme dan mazzdaktisme. Antara orang beriman dan kaum zindiq
terjadi konflik bersenjata, seperti gerakan al-Afsyn dan Qaramitah. Adanya
konflik antara ahlusunnah dan syi’ah. Terjadi mihnah pada masa al-maakmun yang
menjadikan mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara. Lalu, al-Mutawakil
menghapus mu’tazilah dan digantikan dengan golongan salaf pengikut Hambali yang
tidak toleran terhadap mu’tazilah yang rasional.[3]
3.
Masa Kejayaan Peradaban Kerajaan Abbasiyah
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa
keemasan secara politis maupun agama. Disisi lain, kemakmuran masyarakat juga mencapai
tingkat tertinggi. Karena pada periode ini dinasti Abbasiyah lebih menekankan
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah.
Puncak kejayaan dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun
ar-Rasyid (786-809 M) dan anaknya al-Makmun (813-833 M). Pada masa pemerintahan
Harun ar-Rasyid, negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan
terjamin walaupun ada juga pemberontakan dan luas wilayahnya mulai dari Afrika
utara hingga India.
Pada masanya hidup pula para filsuf, pujangga,ahli baca Al-Quran
dan para ulama dibidang agama. Didirikan sebuah perpustakaan yang diberi nama
Baitul Hikmah dimana di dalamnya orang dapat membaca, menulis, berdiskusi dan
berkembang pula ilmu pengetahuan agama seperti ilmu al-Qur’at, qira’at, hadis,
fiqih, ilmu kalam, bahasa dan sastra. Disamping itu berkembang pula ilmu
filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geografi, aljabar,
aritmatika, mekanika, astronomi, musik, kedokteran dan kimia.
Pada masa pemerintahan Al-makmun pengaruh yunani sangat kuat.
Diantara para penerjemah yang masyhur saat itu adalah hunain bin ishak, seorang
kristen nestorian yang banyak menerjemahkan buku-buku berbahasa yunani ke
bahasa arab. Yang menerjemahkan kitab republik dari plato, dan kitab kategori, metafisika,
makna moralia dari aristoteles. Al-Khawarizmi menyusun ringkasan astronomi
berdasarkan ilmu yunani dan india.
Lembaga pendidikan pada masa dinasti Abassiyah mengalami
perkembangan dan kemajuan sangat pesat. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan
bahasa arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak masa
bani umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan.[4]
Bani Abassiyah mencapai puncak keemasannya karena terdapat beberapa
faktor diantaranya:
a.
Islam
makin meluas, tidak di Damaskus tetapi di Baghdad.
b.
Orang-orang
di luar islam dipakai untuk menduduki instansi pemerintahan.
c.
Pemerintaha
Abassiyah membentuk tim penerjemah bahassa yunani ke bahas arab.
d.
Sebagai
penerjemah memberikan pendapatnya.
e.
Rakyat
bebas berfikir serta memperoleh hak asasinya dalam segala bidang
f.
Adanya
perkembangan ilmu pengetahuan.
g.
Dalam
penyelenggaraan negara dalam masa bani abbas ada jabatan wazir.
h.
Ketentuan
profesional baru terbentuk pada masa pemerintah bani Abbas.[5]
4.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Sastra
Abad X masehi disebut abad pembangunan daulah islamiyah dimana
dunia islam, mulai dan Cordon di Spanyol sampai ke Multan di Pakistan,
mengalami kebangunan di segala bidang, terutama dalam bidang berbagai macam
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Dunia islam pada waktu itu dalam keadaan
maju, jaya, makmur; sebaliknya dunia barat masih dalam keadaan gelap, bodoh,
dan primitif dunia islam sudah sibuk mengadakan penyelidikan di laboratorium
dan observatorium.; dunia barat masih asik dengan jampi-jampi dan dewa-dewa.
Hal ini disebabkan agama yang dibawa nabi Muhammad telah menimbulkan dorongan
untuk menumbuhkan suatu kebudayaan baru yaitu kebudayaan islam. Dorongan itu
mula-mula menggerakkan terciptanya ilmu-ilmu pengetahuan dalam lapangan agama
(ilmu naqli), bermunculanlah ilmu-ilmu agama dalam berbagai bidang. Kemudian,
ketika umat islam keluar dan jazirah arab mereka menemukan perbendaharaan
Yunani. Dorongan dari agama ditambah pengaruh dari perbendaharaan Yunani
menimbulkan dorongan untuk munculnya berbagai ilmu pengetahuan di bidang akal
(ilmu aqli).
Gerakan
membangun ilmu secara besar-besaran dirintis oleh khalifah Ja’far al-Mansur.
Setelah ia mendirikan kota Bagdad (144 H/ 762 M) dan menjadikannya sebagai
ibukota negara. Ia menarik banyak ulama dan para ahli dan berbagai daerah untuk
datang dan tinggal di Baghdad. Ia merangsang usaha pembukuan ilmu agama,
seperti fiqih, tafsir, tauhid, hadits, atau ilmu lain seperti ilmu bahasa dan
ilmu sejarah. Akan tetapi yang lebih mendapatkan perhatian adalah penterjemahan
buku ilmu yang berasal dari luar.[6]
Sastra
Perkembangan
seni bahasa, baik puisi maupun prosa, mengalami kemajuan yang cukup berarti.
Berbeda dengan penyair masa pemerintahan dinasti Umayyah yang masih kental
dalam keaslian warna arabnya, sastrawan pada zaman pemerintahan Abbasiyah telah
melakukan peubahan dengan mengkombinasikan dengan sesuatu yang bukan berasal
dari tradisi Arab. Oleh karena itu, wajar jika kemudian pada masa ini banyak
bermunculan penyair terkenal.
Pada masa
pemerintahan dinasti Abbasiyah juga telah terjadi perkembangan yang sangat
menarik dalam bidang prosa. Banyak buku sastra novel, riwayat, kumpulan
nasehat, dan urain-urain sastra yang dikarang atau disalin dari bahasa asing.
Berikut tokoh-tokohnya:
·
Abdullah
bin Muqaffa
·
Abdul
Hamid al-Katib
·
Al-Jabidb
·
Ibnu
Qutaibab
·
Abu
al-Faraj al-Isfahani
|
·
Firdawsi
·
Al-Jasyiari
·
Imam
Sibawayhi
·
Abu
Nawas
·
Ibnu
Rumy[7]
|
C.
PENUTUP
Dinasti Abbasiyah didirikan pada
tahun 132 H/750 M, oleh Abul Abbas Ash-Shafah, dan sekaligus sebagai khalifah
pertama. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang, yaitu selama lima abad dari tahun 132-656 H (750 M – 1258 M).
Adapun langkah-langkah yang
dilakukan pemerintahaan Abbasiyah antara lain:
a.
Melenyapkan
kekuatan dinasti Umayyah yang tersisa
b.
Memadamkan
upaya-upaya gerakan pemberontakan
Dalam kerajaan Abbasiyah banyak bermunculan aliran keagamaan seperti, syi’ah, sunni,
mu’tazilah dan kelompok-kelompok.
Pada periode pertama pemerintahan
Bani Abbasiyah mencapai masa keemasan secara politis maupun agama. Puncak
kejayaan dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun ar-Rasyid (786-809
M) dan anaknya al-Makmun (813-833 M). Banyak pula ilmu-ilmu yang berkembang,
antara lain ilmu naql dan ilmu aql. Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah
juga telah terjadi perkembangan yang sangat menarik dalam bidang prosa.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul
Munir. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Al-Azizi,
Abdul Syukur. 2014. Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap. Jogjakarta:
Saufa.
Fu’adi , Imam.
2011. Sejarah Peradaban Islam. Yokyakarta: Teras.
Syukur, Fatah.
2012. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Sunanto,
Musyrifah. 2013. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Prenada Media.
[1]
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm.
138-140.
[2]
Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam (Yokyakarta: Teras, 2011), hlm.
114-121.
[3]
Abdul Syukur Al-Azizi, kitab sejarah peradaban islam terlengkap (jogjakarta:
Saufa, 2014), hlm. 222-223.
[4]
Ibid., hlm. 144-145
[5]
Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2012), hlm. 102-103.
[6]
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta: Prenada Media, 2013), hlm.
54-58.
[7]
Op.Cit., Abdul Syukur Al-Azizi, hlm. 212-213.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar