Proses Penerimaan dan Periwayatan Hadits - Ainuz Zulfa

Latest

Sabtu, 11 Maret 2017

Proses Penerimaan dan Periwayatan Hadits

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hadis adalah sumber ajaran Islam ke dua setelah Al-Qur’an. Dilihat dari segi periwayatannya, hadis berbeda dengan Al-Qur’an. Untuk Al-Qur’an, semua periwayatan ayatnya berlansung secara mutawatir. Sedangkan hadis nabi sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Karenanya Al-Qur’an dilihat dari segi periwayatannya mempunyai kedudukan qath’iy al-wurud atau qath’iy as-tsubut dimana seluruh ayat telah diakui keasliannya, sedang hadis terutama yang dikategorikan hadis ahad masih diperlukan pengkajian serius untuk memperoleh kepastian  periwayatannya: apakah berasal dari nabi atau bukan. Hadis dilihat dari segi periwayatannya berkeduduka sebagai zhanniy al-wurud atau zhanniy as-tsubut.
Kajian-kajian yang banyak dilakukan umat Islam terhadap Al-Qur’an adalah untuk memahami kandungannya dan berusaha mengamalkannya. Terhadap hadis, kajian tidak hanya menyangkut pemahaman kandungan dan pengamalannya, tetapi juga periwayatannya. Karenanya, kajian terhadap periwayatn hadis ini kemudian melahirkan disiplin ilmu tersendiri yang dikenal sebagai ilmu ad-dirayah. 

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah proses penerimaan hadits?
2.      Bagaimanakah proses periwayatan hadits?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Proses Penerimaan Hadits
Para Ulama ahli hadis mengistilahkan “menerima dan mendengarkan suatu periwayatan hadis dari seseorang guru dengan menggunkan beberapa metode penerimaan hadis” dengan istilah al-tahammul. Sedang “menyampaikan atau periwayatan hadis kepada orang lain” mereka istilahkan dengan al-ada’.

1.      Penerimaan Anak-anak, Orang Kafir, dan Orang Fasik
Jumhur ulama ahli hadis berpendapat, bahawa penerimaan periwayatan suatu hadis oleh anak yang belum sampai umur (belum kalaf) dianggap sah bila periwayatan hadis tersebut disampaikan kepada orang lain pada waktu sudah mukalaf. Hal ini didasarkan pada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli ilmu setelahnya yang menerima periwayatan hadis seperti Hasan, Abdullah bin Zubeir, Ibnu Abbas, Nu’man bin Basyir, Salib bin Yazid, dll dengan tanpa mempermasalahkan apakah mereka telah baligh atau belum. Namun mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal usia anak yang diperbolehkan bertahammul, sebab permasalahan ini tidak terlepas dari ketamziyan anak tersebut.
Al-Qadhi ‘Iyad menetapkan, bahwa batas minimal usia anak diperbolehkan bertahammul paling tidak sudah berusia lima tahun, karena pada usia ini anak sudah mampu menghafal apa yang didengar dan mengingat-ingat yang dihafal. Pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhari dan sahabat Mahmud bin al-Rubai’:
          عقلت من النبي صل الله عليه وسلم مجة مجها في وجهي من دلوو وانا ابن خمس سنين
Saya ingat Nabi SAW meludahkan air yang diambilnya dari timba ke mukaku, sedang pada saat itu saya berusia lima tahun.”  
Abu Abdullah Al-Zuba’i mengatakan, bahwa sebaiknya anak diperbolehkan menulis hadis pada saat usia mereka telah mencapai umur 10 tahun, sebab pada usia ini mereka telah dianggap sempurna, dalam arti bahwa mereka telah mempunyai kemampuan untuk menghafal dan mengingat hafalannya dan mulai menginjak dewasa. Yahya bin Ma’in menetapkan usia lima belas tahun, berdasarkan hadis ibnu umar: “saya dihadapkan kepada Rasulullah SAW pada waktu perang uhud, disaat itu saya baru berusia empat belas tahun, beliau tidak memperkenankan aku. Kemudian aku dihadapkan kepada Nabi SAW pada waktu perang khandaq, disaat yang berumur lima belas tahun dan beliau memperkenankan aku.”
Sementara ulama Syam memandang usia yang ideal bagi seorang untuk meriwayat hadis setelah berusia tiga puluh tahun, dan ulama Kuffa berpendapat minimal berusia dua puluh tahun.
Kebanyakan ulama ahli hadis tidak menetapkan batasan usia tertentu bagi anak yang diperbolehkan bertahammul, akan tetapi lebih menitikberatkan pada ketamyizan mereka. Namun mereka juga berbeda pendapat tentang ketmyizan tersebut. Ada yang mengatakan bahwa anak sudah dikategorikan tamyiz apabila anak tersebut sudah mampu membedahkan antara al-baqarah dan al-himar, seperti diungkapkan oleh al-hafidz bin musa bin harun al-hammal. Menurut Imam Ahmad, bahwa ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal. Ada juga yang mengatakan, bahwa yang dijadikan ukuran ketamyizan seseorang itu bukan berdasarkan usia mereka, akan tetapi dilihat dari “ apakah anak itu memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar atau tidak.”
Terjadinya perbedaan pendapat ulama mengenai ketamyizan seseorang tidak terlepas dari kondisi yang mempengaruhi kepadanya dan bukan berdasarkan pada usianya, sebab bisa saja sesorang pada usianya tertentu, karena situasi dan kondisi yang mempengaruhi, dia sudah mumayiz, sementara seseorang pada usia yang sama, karena situasi dan kondisi mempengaruhi berbeda, dia belum mumayiz. Oleh karenanya, ketamyizan seseorang bukan diukur dari usia, tetapi didasarkan pada tingkat kemampuan menangkap dan memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan denagn benar serta adanya kemampuan menghafal dan mengingat-ingat hafalannya.
Mengenai penerimaan hadis bagi orang kafir dan orang fasik, jumhur ulama hadis menganggap sah, asalkan hadis tersebut ditiwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah masuk islam dan bertobat. Alasan yang mereka kemukakan adalah banyak kejadian yang mereka saksikan dan banyak sahabat yang mendengar sabda Nabi SAW sebelum mereka masuk islam. Diantara sahabat yang mendengar sabda Rasul SAW pada waktu belum masuk islam adalah sahabat Zubeir. Dia pernah mendengar Rasul Saw. Membaca surat Al-Thur pada waktu sembayang magrib, ketika dia tiba di madinah untuk menyelesaikan urusan perang badar, dalam keadaan masih kafir. Akhirnya dia masuk islam. Bila penerima hadis oleh orang kafir yang kemudian disampaikannya setelah memeluk islam dapat diterima, maka sudah barang tentu dianggap sah penerimaan hadis oleh orang fasik yang diriwayatkannya setalah dia bertaubat.[1]
2.      Cara-cara Penerimaan Hadis
Para ulama menmgindentifikasi cara pengambilan dan penerimaan hadis dari para rawi menjadi delapan macam. Mereka mengupas dan menjelaskan hukum-hukumnya secara panjang lebar, yang garis besarnya sebagai berikut:
a.       Al-Sima’(mendengarkan hadis dari guru)
Adalah suatu cara yang ditempuh oleh para Muhadditsin periode pertama untuk mendapatkan hadis dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian mereka meriwayatkannya kepada generasi berikutnya dengan cara yang sama. Maka tidak heran bila cara ini dinilai sebagai cara penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatanya. Demikian menurut pendapat Jumhur ulama dari kalangan Muhadditsin dan lainnya.
Untuk yang dominan dalam cara ini adalah mendengarkan bacaan guru, baik dibacakan dengan selintas maupun dengan cara didetekkan, dan baik dibacakan dari hafalan sang guru maupun dengan melihat kitabnya. Semua cara ini menurut Muhadditsin disebut Sima’.
b.      Al-‘Ardh (membaca hadits dihadapan guru)
Para Muhadditsin menempuh cara ini setelah pembukuan hadis banyak dilakukan dan tersebar diberbagi tempat.
Makna Al-‘Ardh menurut mereka adalah membaca hadis dihdapan guru berdasarkan hafalan maupun dengan melihat kitab.
Cara penerimaan ini dibenarkan. Dan periwayatan dengan caraseperti ini menurut ijma’ boleh dilakukan.
Akan tetapi, mereka berselisih pendapat apakah car ini berada pada satu tingkatan dengan Al-Sima’ apakah lebih tinggi atau rendah.
Kita bisa berpendapat bahwa Al-Ardh lebih tinggi dari pada Al-Sima’ apabila pencari hadis yang bersangkutan dapat menyadari kesalahannya dalam membaca hadis itu. Sedangkan apabila keadaan yang berbeda, maka Al-Sima’ lebih tinggi.
Kami dapatkan setelah kami menyatakan demikan al-Hafiz ibnu Abdi al-Barr meriwayatkan dari Malik bahwa ia ditanya, “apakah anda lebih suka bila seorang pencari hadis membacakan hadis dihadapan anda ataukah anda lebih senang membacakan hadis kepadanya ?” ia menjawab, “aku lebih senang bila pencari hadis membacakan hadis dihadapanku apabila bacaannya tepat, karena boleh jadi ia salah atau lupa terhadap hadis yang dibacakan gurunya.”
Pertanyaan Malik ini menunjukan bahwa bila pencari hadis belum mencapai tingkatan ini maka pembacaan hadis dihadapan guru itu tidak mengungguli al-Sima’.
c.       Al-Ijazah
Adalah izin guru hadis kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau kitab yang diriwayatkan darinya padahal murid itu tidak mendengar hadis tersebut atau tidak membaca kitab tersebut di hadapannya. Seperti orang guru berkata, “Aku memperbolehkan kamu atau kepadamu untuk meriwayatkan shahih Al-Bukhari atau kitab tentang sumpah dalam shahih Muslim. Kemudian setelah itu murid tersebut meriwayatkan hadis atau kitab sesuai izinnya tanpa mendengar sebelumnya atau membaca dihadapannya.
Jadi sesungguhnya ijazah itu identik dengan periwayatan atau pemberitahuan secara global tentang suatu kitab atau beberapa kitab, bahwasanya semua itu adalah hadis-hadis yang diriwayatkannya. Ijazah itu sendiri berfungsi sebagai periwayatan seluruh isi kitab, mengingat ada berbagai naskah, karena para penulis hadis dalam suatu negara telah melakukan pengadaan seperti layaknya para penerbit buku sekarang.
Oleh karena itu orang yang menyandang hak ijazah tidak boleh meriwayatkan hadisnya sebelum ia mencocokkan naskahnya dengan naskah penyususnannya atau dengan naskah yang telah dicocokkan dengannya, dan begitu selanjutnya.
Oleh karena itu para ulama berkata, “Ijazah itu dipandang baik manakala pemberi ijazah mengetahui hadis yang diijazahkan, dan pihak yang diberi ijazah adalah orang berilmu, karena ijazah itu suatu kemudahan dan kemurahan yang mestinya diterima oleh orang berilmu karena mereka sangat memerlukannya.”
Hal ini diperkuat oleh Ibnu Abd Al-Barr, yang ia nyatakan dalam jami’ bayan al-Ilmi wa fadhlih, ringkasannya adalah bahwa ijazah itu tidak boleh diberikan kecuali orang yang mahir dalam seluk beluk hadis dan mengetahui cara menerimanya; disamping itu ijazah harus diberikan berkenaan dengann hadis yang tertentu dan dikenal, serta tidak terdapat persoalan dalam isnad-nya. Pendapat inilah yang benar.
d.      Al-Munawalah
Menurut Muhadditsin adalah bahwa seorang guru menyalahkan kitab atau lembaran catatan hadis kepada muridnya agar diriwayatkannya dengan sanad darinya.
Macam-macam al-Munawalah:
1.    Munawalah yang disertai dengan ijazah dan penjelasan tentang naskah
2.    Munawalah yang disertai dengan ijazah namun tidak disertai dengan penyerahan naskah kitab
3.    Munawalah yang tidak disertai ijazah.

e.       Al-Mukatabah
Adalah seorang muhaddits menulis suatu hadis lalu mengirimkannya kepada muridnya. Mukatabah terdiri atas dua macam, yaitu:
1.      Mukatabah yang disertai dengan ijazah. Mukatabah jenis ini dalah hal keshahihan dan validitasnya menyerupai munawalah yang disertai dengan ijazah.
2.      Mukatabah yang tidak disertai ijazah. Pendapat yang shahih menurut kalangan muhadditsin membolehkan periwayatan hadis dengan mukatabah bentuk kedua ini, karena cara ini tidak berbeda dengan ijazah atau dalam hal banyaknya memberi faedah ilmu.

f.       Al-I’lam
Adalah pemberitahuan oleh seorang hadis kepada seorang pencari hadis bahwa hadis atau kitab yang ditunjuknya adalah hadis atau kitab yang didengarnya dari seseorang, tanpa disertai periwayatan kepadanya. Yaitu bahwa muhaddits itu pada saat yang sama tidak berkata, “Riwayatkanlah hadis ini dariku.”atau “Aku izinkan kamu meriwayatkannya.”
Sebagian tokoh ulama ushul berpendapat bahwa periwayatan hadis yang didapat melalui al-i’lam tidak boleh. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Al-Shalah. Alasannya dalam hadis atau kitab yang ditunjuk itu boleh jadi terdapat kekurangan yang menyebabkan hadis-hadisnya tidak boleh diriwayatkan begitu saja.
Sebagian besar muhadditsin, fuqaha, dan ulama ushul memperbolehkan periwayatan hadis yang diterima melalui al-i’lam meskipun tidak disertai ijazah. Pendapat ini disepakati pula oleh Al-Ramahurmuzi. Qadhi ‘Iyadh berkata, “Pendapat ini benar dan tidak ada alternatif lain, karena melarang seseorang meriwayatkan hadis yang telah diriwayatkan bukan karena ada cacat atau ada keraguan, tidak dapat dibenarkan; karena ia telah benar-benar meriwayatkannya dan tindakannya itu tidak dapat diralat kembali.”
g.      Al-Washiyah (wasiata)
Merupakan salah satu bentuk periwayatan hadis yang dipandang lemah. Bentuk wasiat dalam periwayatan adalah bahwa seorang muhaddits berwasiat kepada seseorang agar kitab-kitabnya diserahkan kepadanya ketika muhaddits itu meninggal atau dalam berpergian.
h.      Al-Wijadah
Adalah kasus dimana seseorang menemukan suatu hadis atau kitab hasil tulisan orang lain lengkap dengan sanadnya.
Orang yang menemukan hadist itu boleh meriwayatkannya darinya dengan cara menceritakannya, dan untuk itu ia berkata,
وجد ت بخط فلا ن , حد ثنا فلا ن
Aku dapatkan pada tulisan fulan bahwasanya fulan menceritakan kepada kami. . . .
Dapat pula ia berkata, “fulan berkata”, bila padanya tidak terdapat penipuan atau (tadlis) dan ucapan itu mengesankan perjumpaan anatara pemilik naskah dan orang yang menemukannya.
Namun, sama sekali ia tidak boleh meriwayatkannya dengan berkata, “haddatsana” atau “akhbarana” atau kata-kata lain yang menunjukkan ketersambungan sanadnya. Tidak pernah terjadi seorang ahli ilmu melakukan yang demikian dan mengategorikannya berbagai hadits, yang bersambung sanadnya.[2]
B.     Proses Periwayatan Hadits
Cara-cara penyampaian hadis itu sesuai dengan cara-cara penerimaan yang telah dijelaskan di muka. Oleh karena itu, orang yang telah menerima hadis dengan cara apapun berhak menyampaikannya dengan cara apapun jug, dan tidak di syaratkan ia menyampaikannya dengan cara yang sama ketika ia menerimanya.
Penyampaian hadis itu ada kalanya berdasarkan hafalan, peristiwanya dan ada kalanya berdasarkan kitabnya, namun para muhadditsin sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis dengan kedua bentuk itu. Mereka tidak memperbolehkan seorang rawi meriwaytkan kecuali hadis yang terbukti kebenarannya. Maka apabila yang terjadi adalah hal sebaliknya atau ia meragukan suatu hadis maka  ia tidak boleh meriwayatkannya, sebab semuanya sepakat bahwa seorang rawi tidak boleh meriwayatkannya kecuali hadis yang telah diteliti. Dan bila ia ragu, maka berarti ia meriwayatkan sesuatu yang tidak dapat dipastikan keasliannya dari Nabi SAW. Dan dihawatirkan telah terjadi perubahan padanya, sehingga ia termasuk orang yang terkena ancaman Nabi SAW, yaitu orang-orang yang berdusta dalam meriwayatkan hadis. Lalu hadis yang diriwayatkannya itu termasuk prasangka, dan prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta.[3]

v  Jumhur ahli hadis, ahli ushul fiqih dan ahli fiqih menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadis yaitu sebagai berikut:
a.       Islam
Pada waktu meriwayatkan suatu hadis maka seorang perawi harus muslim, dan menurut ijma’ periwayatan kafir tidak sah. Berdasarkan firman Allah dalam (QS. Al-Hujurat (49): 6).
b.      Baligh
Adalah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis walau penerimanya belum baligh. Berdasarkan hadis Nabi yaitu Abu Daud, Sunan Abi Daud, Juz 4 (Suriyah: Dar Al-Hadis, 1974), cet. Ke-I, hlm. 559. Hadis nomor 4.4-2.
c.       ‘Adalah
Yang dimaksud dengan adil suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri  dengan kebenarannya, menajuahkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadian.
d.      Dhabit
Ialah terikat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadis  yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya.
Jalannya mengetahui ke-dhabitan perawi dengan jalan i’tibar terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan.[4]

v  Syarat-syarat Bagi Penerimaan dan Penolakan Riwayat
Pembahasan syarat-syarat bagi penerima dan penolak riwayat tidak lepas dari pembahasan sanad dan periwayat hadis.
Dalam hal ini, sebagaimana yang dikemukakan As-Syafi’i bahwa periwayat yang dapat diterima adalah:
1.    Harus diriwayatkan oleh seorang periwayat:
-          Dapat dipercaya pengalaman keagamaannya
-          Dikenal sebagai orang jujur dalam menyampaikan berita
-          Memahami dengan baik hadis yang diriwayatkan
-          Mengetahui perubahan makna hadis bila terjadi perubahan maknanya
-          Mampu menyapikan riwayat hadis secara lafal; tegasnya tidak meriwayatkan hadis secara makna
-          Terpelihara hafalannya bila di riwayatkan secara hafalan, dan perlihara catatannya bila dia meriwayatkan melalui kitabnya
-          Apabila hadis yang diriwayatkannya diriwayatkan juga oleh orang lain maka bunyi hadis itu tidak berbeda
-          Terlepas dari perbuatan yang cacat.
2.    Rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad.

Sedangkan tentang penolakan riwayat, para ulama hadis memberikan syarat-syarat yaitu:
-          Jika riwayat itu diterima dari orang yang tidak tsiqat.
-          Jika sholat, perilaku, dan keadaan diri orang yang meriwyatkan hadis tidak baik
-          Jika riwayat hadis dari orang yang tidak dikenal tidak memiliki pengetahuan hadis.
-          Jiak riwayat hadis diriwayatkan oleh orang-orang yang suka berdusta, mengikuti hawa nafsu, dan tidak mengerti hadis yang diriwayatkannya
-          Jika riwayat hadis dari orang yang ditolak kesaksiannya.[5]
   
 


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Para Ulama ahli hadis mengistilahkan “menerima dan mendengarkan suatu periwayatan hadis dari seseorang guru dengan menggunkan beberapa metode penerimaan hadis” dengan istilah al-tahammul. Sedang “menyampaikan atau periwayatan hadis kepada orang lain” mereka istilahkan dengan al-ada’. Sehubungan dengan penerimaan riwayat hadis, ulama membagi tata cara penerimaan riwayat hadis menjadi 8 macam, yaitu al-sima’, al-‘ardh, al-ijazah, al-munawalah, al-mukatabah, al-i’lam, al-wasiyah dan al-wijadah. Adapun cara-cara penyampaian hadis itu sesuai dengan cara-cara penerimaan hadis. Penyampaian hadis itu ada kalanya berdasarkan hafalan, peristiwanya dan ada kalanya berdasarkan kitabnya.

B.     Saran
Dalam pembuatan makalah ini tentunya kami masih sangat banyak kekurangan, maka dari itu kami sangat berharap kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.




DAFTAR PUSTAKA


‘Itr, Nuruddin. 1995. ‘Ulum Al-Hadits 1. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Suparta, Munzier. 2002. Ilmu Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo.

Suryadilaga, M. Alfatih. 2010. Ulumul Hadis. Yogyakarta: Teras.




[1] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Cet.3 (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002), hlm. 195-198.
[2] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulum Al-Hadits 1, Cet. 2 (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 197-205.
[3] Ibid., hlm. 207.
[4] Munzier Suparta, Op.Cit., hlm. 204-206.
[5] M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, Cet. 1 (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 129-130.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar