A.
Biografi
Nama lengkapnya Abu Hamid ibn
Muhammad ibn Ahmad al-Ghazali digelar Hujjah al-Islam. Ia lahir di Thus bagian
dari kota Khurasan Iran pada 450 H (1056 M). Ayahnya tergolong orang yang hidup
sangat sederhana sebagai pemital benang tetapi mempunyai semangat keagamaan
yang tinggi seperti terlihat pada simpatiknya kepada ulama dan mengharapkan
anaknya menjadi ulama yang selalu memberi nasehat kepada umat. Itulah sebabnya
ayahnya sebelum wafat menitipkan anaknya Al-Ghazali dan saudaranya Ahmad yang
ketika itu masih kecil kepada seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan didikan
dan bimbingan. Diperkirakan Al-Ghazali hidup dalam suasana kesederhanaan sufi
tersebut sampai usia 15 tahun (450-456 H).
Ketika sufi yang mengasuh Al-Ghazali
dan saudaranya tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan keduanya, ia menganjurkan
agar mereka dimasukkan ke sekolah untuk memperoleh, selain ilmu pengetahuan, santunan
kehidupan sebagaimana lazimnya waktu itu.
Al-Ghazali pertama-tama belajar ilmu
agama di kota Thus, kemudian meneruskan di kota Jurjan, dan akhirnya di
Naisabur untuk belajar di Madrasah Al-Nizhamiyah pada Imam Al-Juwaini. Di
sinilah ia mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat
menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantiq,
falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i.
Sebelum Al-Juwaini wafat, ia
memperkenalkan Al-Ghazali kepada Nizham al-Mulk perdana menteri Sultan Saljuk
Maliksyah. Nizham al-Mulk adalah pendiri madrasah-madrasah Nizhamiyah. Setelah
gurunya wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naisabur menuju negeri Askar untuk
berjumpa dengan Nizham al-Mulk. Di daerah ini, ia mendapat kehormatan untuk
berdebat dengan para ulama. Dari perdebatan yang dimenangkannya ini namanya
semakin populer dan disegani karena keluasan ilmunya. Pada tahun 484 H (1091 M)
Al-Ghazali diangkat menjadi guru besar di madrasah Nizhamiyah Baghdad selam
kurang lebih 4 tahun.
Pada tahun 488 H (1095 M) Al-Ghazali
dilanda keragu-raguan, skiptis, terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya, kegunaan
pekerjaannya dan karya-karya yang dihasilkannya, sehingga ia menderita penyakit
selama dua bulan dan sulit diobati. Karena itu, Al-Ghazali tidak dapat
menjalankan tugasnya sebagai guru besar di madrasah Nizhamiyah. Akhirnya ia
meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus. Dan di kota ini, ia merenung,
membaca dan menulis, selama kurang labih dua tahun, dengan tasawufnya sebagai
jalan hidupnya.
Kemudian ia pindah ke Bait al-Maqdis
Palestina untuk melaksanakan ibadah serupa, setelah itu tergerak hatinya untuk
menunaikan ibadah haji dan menziarahi maqam Rasulullah. Sepulang dari tanah
suci, Al-Ghazali mengunjungi kota kelahirannya Thus, di sini pun ia tetap
ber-khalwat. Keadaan skiptis Al-Ghazali berlangsung selama 10 tahun. Pada
periode itulah ia menulis karyanya yang terbesar yaitu Ihya’ ‘Ulum al Din.
Karena desakan penguasa Saljuk,
Al-Ghazali mengajar kembali pada madrasah Nizhamiyah di Naisabur tetapi hanya
berlangsung selama dua tahun, kemudian ia kembali ke Thus untuk mendirikan
madrasah bagi para fuqaha dan sebuah zawiyah atau khanaqah untuk para
mutasawwifun. Di kota inilah ia wafat pada tahun 505 H (1111 M).
B.
Karyanya
Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir
Islam yang dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam
karangan-karangannya. Puluhan buku telah dituliskannya yang meliputi berbagai
lapangan ilmu, antara lain Teologi Islam (Ilmu Kalam), Hukum Islam (fiqh),
Tasawuf, Tafsir, Akhlak, dan Adab Kesopanan, kemudian autobiografi. Sebagian
besar dari buku-buku tersebut di atas
dalam bahasa Arab dan yang lain ditulisnya dalam bahasa Persia.
Pengaruh Al-Ghazali di kalangan kaum
Muslimin besar sekali, sehingga menurut pandangan orang-orang ahli Ketimuran
(Orientalis), agama Islam yang digambarkan oleh kebanyakan kaum Muslimin
berpangkal pada konsepsi Al-Ghazali.
Karya Al-Ghazali diperkirakan
mencapai 300 buah, di antaranya adalah:
a.
Maqashid
al-Falasifah (Tujuan-tujuan
Para Filsuf), sebagai karangannya yang pertama dan berisi masalah-masalah
filsafat;
b.
Tahafut
al-Falasifah (Kehancuran
Pikiran Para Filsuf), buku ini dikarang sewaktu ia berada di Baghdad tatkala
jiwanya dilanda keragu-raguan. Dalam buku ini, Al-Ghazali mengecam filsafat dan
para filsuf dengan keras;
c.
Mi’yar
al-‘Ilm (Kriteria Ilmu-ilmu);
d.
Ihya
‘Ulum al-Din (Menghidupkan
Kembali Ilmu-ilmu Agama), buku ini merupakan karyanya yang terbesar yang
dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara
Damaskus, Yerusalem, Hijaz dan Thus yang berisi paduan antara fikih, tasawuf
dan filsafat;
e.
Al-Munqidz
min al-Dhalal (Penyelamat
Dari Kesesatan), buku ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran
Al-Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu
serta jalan mencapai Tuhan;
f.
Al-Ma’arif
al-‘Aqliah (Pengetahuan Yang Rasional);
g.
Misykat
al-Anwar (Lampu Yang Bersinar Banyak), buku
ini berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf;
h.
Minhaj
al-‘Abidin (Jalan Mengabdikan Diri Kepada
Tuhan);
i.
Al-Iqtishad
fi al-‘Itiqad (Moderasi
Dalam Akidah);
j.
Ayyuha al-Walad;
k.
Al-Mustashfa;
l.
Iljam
al-‘Awwam ‘an ‘Ilm al-Kalam;
m.
Mizan al-‘Amal.
C.
Filsafatnya
1.
Epistimologi
Sebagaimana dijelaskan Al-Ghazali dalam bukunya Al-Munqidz min
al-Dhalal, ia ingin mencari kebenaran yang sejati, yaitu kebenaran yang
diyakininya betul-betul. Pada mulanya Al-Ghazali beranggapan bahwa pengetahuan
itu adalah hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indera. Tetapi, kemudian
ternyata baginya bahwa pancaindera juga berdusta.
Karena tidak percaya dengan panca indera, Al-Ghazali kemudian
meletakkan kepercayaannya kepada akal. Tetapi, akal juga tak dapat dipercaya. Dan
yang dicari oleh Al-Ghazali adalah ‘ilm al-yaqini yang tidak mengandung
pertentangan pada dirinya. Pada akal ia tidak menemukannya. Namun, Al-Ghazali
tidak konsekwen dalam menguji kedua sumber pengetahuan itu. Akhirnya Al-Ghazali
mengalami puncak kesangsian karena ia tidak menemukan sumber pengetahuan yang
dapat dipercaya. Tetapi dua bulan kemudian dengan cara tiba-tiba Tuhan
memberikan nur yang disebut juga oleh Al-Ghazali sebagai kunci ma’rifat
ke dalam hatinya, sehingga ia merasa sehat dan dapat menerima kebenaran
pengetahuan a priori yang bersifat aksiomatis. Dengan demikian, bagi
Al-Ghazali bahwa al-dzaqw (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya
daripada akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini
kebenarannya. Sumber pengetahuan tertinggi tersebut dinamakan juga al-nubuwwat,
yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada manusia biasa berbentuk ilham.
2.
Metafisika
Al-Ghazali menghantam pendapat-pendapat filsafat Yunani, di
antaranya juga Ibnu Sina c.s., dalam dua puluh masalah. Di antaranya yang
terpenting ialah:
a)
Al-Ghazali
menyerang dalil-dalil filsafat (Aritoteles) tentang azalinya alam dan dunia. Di
sini Al-Ghazali berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada menjadi
ada sebab diciptakan oleh Tuhan.
b)
Al-Ghazali
menyerang kaum filsafat (Aritoteles) tentang pastinya keabadian alam. Ia
berpendapat bahwa soal keabadian alam itu terserah kepada Tuhan semata-mata. Mungkin
saja alam itu terus menerus tanpa akhir andaikata Tuhan menghendakinya. Akan
tetapi, bukanlah suatu kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan oleh
dirinya sendiri di luar Iradat Tuhan.
c)
Al-Ghazali
menyerang pendapat kaum filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui soal-soal yang
besar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal yang kecil (juz’iyat). Menurut
Al-Ghazali ilmu Tuhan adalah suatu tambahan atau pertalian dengan zat, artinya
lain dari zat, kalau terjadi perubahan pada tambahan atau sifat tambahan
tersebut, zat Tuhan tetap dalam keadaannya.
d)
Al-Ghazali
juga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian
hukum sebab dan akibat semata-mata, dan mustahil ada penyelewengan dari hukum
itu. Bagi Al-Ghazali segala peristiwa yang serupa dengan hukum sebab dan akibat
itu hanyalah kebiasaan (adat) semata-mata, dan bukan hukum kepastian. Dalam hal
ini jelas Al-Ghazali menyokong pendapat Ijraul-‘adat dari Al Asy’ari.
3.
Etika
Filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada
teori tasawufnya dalam bukunya Ihya ‘Ulumuddin. Dengan kata lain,
filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya.
Dalam Ihya ‘Ulumuddin itu Al-Ghazali mengupas
rahasia-rahasia ibadat dari tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnya dalam
mengupas soal at-thaharah ia tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir
saja, tetapi juga kebersihan rohani. Dalam penjelasannya yang panjang-lebar
tentang sholat, puasa, dan haji, kita dapat menyimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali
semua amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari segala jalan
pemebersihan rohani.
Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada
kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya (taqarub) terhadap Tuhan.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai
pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat
(kebaikan) bagi sekalian alam. Dalam hal ini ia sama sekali tidak cocok dengan
prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap Tuhan sebagai kebaikan yang
tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia,
dan menanggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali, sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan
tersebar dimana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang
disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagaimana cara bertaqarrub kepada Allah itu, Al-Ghazali memberikan
beberapa cara latihan yang langsung mempengaruhi rohani. Di antaranya yang
terpenting ialah muraqabah, yakni merasa diawasi terus oleh Tuhan, dan almuhasabah,
yakni senantiasa mengoreksi diri sendiri.
4.
Jiwa
Manusia menurut Al-Ghazali diciptakan Allah sebagai makhluk yang
terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa yang menjadi inti hakikat manusia adalah
makhluk spiritual rabbani yang sangat halus (lathifa rabbaniyah ruhaniyyah).
Istilah-istilah yang digunakan Al-Ghazali untuk itu adalah qalb, ruh, nafs,
dan ‘aql.
Jiwa bagi Al-Ghazali adalah suatu zat (jauhar) dan bukan
suatu keadaan atau aksiden (‘ardh) sehingga ia ada pada dirinya sendiri.
Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa dan bukan sebaliknya. Jiwa berada di
alam spiritual sedangkan jasad berada di alam materi. Jiwa bagi Al-Ghazali
berasal sama dengan malaikat. Asal dan sifatnya ilahiyah. Ia tidak pre-eksisten
tidak berawal dengan waktu seperti menurut Plato dan filsuf lainnya. Tiap jiwa
pribadi diciptakan Allah di alam alas (‘alam al-arwah) pada saat benih
manusia memasuki rahim dan jiwa lalu dihubungkan dengan jasad. Setelah
kematian, jasad musnah tapi jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan
kematian tersebut kecuali kehilangan wadahnya.
Bagi Al-Ghazali, jiwa yang berasal dari ilahi mempunyai potensi
kodrati (ashl al-fitrah) yaitu kecenderungannya kepada kebaikan dan
keengganan kepada kekejian, sedangkan jasad berasal dari ‘alam al-khalaq.
Karena itu, kecenderungan jiwa terhadap kejahatan (yang timbul setelah lahirnya
nafsu) bertentangan dengan tabiat aslinya.
Mengenai prihal kekekalan jiwa yang problematik itu, Al-Ghazali
menegaskan bahwa Tuhan sesungguhnya dapat menghancurkan jiwa (al-nafs),
tetapi Ia tidak melakukannya. Di sini Al-Ghazali berada di persimpangan
pandangan sebagai mutakallimin dan pandangan sebagai filsuf. Hal
tersebut dibantahnya dalam buku Tahafut al-Falasifah, yang dibantahnya
adalah dalil-dalil rasional yang digunakan para filsuf untuk membuktikan
kekekalan jiwa itu. Menurutnya, hanya syara’ yang bisa menjelaskan
persoalan al-ma’ad (kehidupan di akhirat).
5.
Konsep Iman dan Kufur
Al-Ghazali dalam pemikirannya, menentang ilmu kalam dan para ulama
kalam. Sebagaimana penyerangannya terhadap argumen-argumen para filosuf, tetapi
tetap ia menjadi tokoh filosuf. Kritikan Al-Ghazali kepada para ulama kalam
hanya ditujukan kepada tingkah laku mereka dan kejauhan hati mereka dari agama
yang dipertahankannya oleh mereka melalui argumentasi.
Dalam memperkuat iman orang-orang biasa, menurut Al-Ghazali tidak
diperlukan argumen-argumen pemikiran yang dalam. Ia menyayangkan adanya
pertentangan pendapat dalam beberapa persoalan dan tuduhan telah menjadi kafir
yang dikeluarkan pengikut beberapa aliran terhadap orang lain yang tidak sependapat
dengan mereka, karena dirasa perlu untuk memberikan batas pemisahan antara iman
dengan kufur dan atau antara Islam dengan non Islam.
Al-Ghazali membuat garis pemisahan antara iman dan kufur, dengan
mengatakan: “Kufur adalah mendustakan Rasul tentang apa yang dibawanya,
sedang iman ialah mempercayai semua yang dibawanya. Orang Yahudi dan Masehi
adalah orang kafir, karena kedua-duanya mendustakan Rasul. Orang-orang agama
Brahmana lebih-lebih lagi, karena mengingkari semua Rasul-rasul termasuk Rasul
Muhammad saw. kemudian menyusul orang-orang agama dualisme, orang-orang zindoq
dan orang-orang materialis. Mereka semuanya adalah orang-orang musyrik, karena
mendustakan Rasul. Setiap orang kafir mendustakan Rasul, dan setiap orang yang
mendustakan Rasul adalah orang kafir, ini adalah garis pemisah yang berlaku
terus”.
Ia mengatakan lagi: “Orang yang mentakwilkan tidak boleh
dikafirkan, selama mereka berjalan di atas aturan ta’wil. Bagaimana karena
penta’wilan semata-mata sudah menjadi kafir, sedang semua pihak dalam Islam
mesti memakai ta’wil”.
Oleh karena itu, tidaklah mudah mengatakan golongan ini kafir, aliran
iman, melainkan diperlukan keterangan yang panjang, segi-segi mana yang membawa
kekufuran dan segi-segi mana yang tidak membawa kekufuran.
Yang disebut dengan iman tidak hanya cukup dengan mengetahui
syariat, tetapi harus dengan mengamalkan perintah-perintahnya. Menurut
Al-Ghazali, meskipun seorang membaca seratus ribu kali masalah keilmuan dan
mengkajinya pula, tetapi tidak mengamalkannya, maka tidak akan berguna baginya,
kecuali dengan amalannya itu. Islam bukan hanya membaca Al-Qur’an, shalat
berjamaah dan mengangungkan syariat dengan lisan, tetapi juga pembersihan,
keperwiraan dan takwa kepada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Ahmad.
1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Mustofa, A.
1997. Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia
Nasution,
Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama
TAKUT MENANG TAPI TIDAK DI BAYAR ???
BalasHapusMau menang banyak dan langsung cair dalam hitungan menit ?
Hanya di P'O'K'E'R V`1`T`A yang bisa memuaskan pemain Judi Poker Online tanpa diragukan lagi.
100 % AKAN KAMI BAYAR ATAUPUN KEMBALIKAN DANA YANG ANDA MENANGKAN, BERAPAPUN NILAI NOMINAL TERSEBUT
BAHKAN RATUSAN JUTA !!!
P'O'K'E'R V`1`T`A Menyediakan BONUS-BONUS Untuk ANDA Diantaranya :
-BONUS REFERRAL 15% (SEUMUR HIDUP/SETIAP SENIN )
-BONUS CASHBACK TUROVER ( SETIAP HARI )
-NO ROBOT,NO ADMIN
-Proses Deposit dan Withdraw Dengan Cepat
-Dilayani CS Yang Ramah Dan Profesional
-Menyediakan 5 bank lokal : BCA,BNI,BRI,MANDIRI, DAN DANAMON
Festival Poker 2019
WA: 0812.2222.996
BBM : PKRVITA1 (HURUF BESAR)
Wechat: pokervitaofficial
Line: vitapoker