Biografi Imam Al-Ghazali - Ainuz Zulfa

Latest

Sabtu, 11 Maret 2017

Biografi Imam Al-Ghazali



A.    Biografi
Nama lengkapnya Abu Hamid ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazali digelar Hujjah al-Islam. Ia lahir di Thus bagian dari kota Khurasan Iran pada 450 H (1056 M). Ayahnya tergolong orang yang hidup sangat sederhana sebagai pemital benang tetapi mempunyai semangat keagamaan yang tinggi seperti terlihat pada simpatiknya kepada ulama dan mengharapkan anaknya menjadi ulama yang selalu memberi nasehat kepada umat. Itulah sebabnya ayahnya sebelum wafat menitipkan anaknya Al-Ghazali dan saudaranya Ahmad yang ketika itu masih kecil kepada seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan didikan dan bimbingan. Diperkirakan Al-Ghazali hidup dalam suasana kesederhanaan sufi tersebut sampai usia 15 tahun (450-456 H).
Ketika sufi yang mengasuh Al-Ghazali dan saudaranya tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan keduanya, ia menganjurkan agar mereka dimasukkan ke sekolah untuk memperoleh, selain ilmu pengetahuan, santunan kehidupan sebagaimana lazimnya waktu itu.
Al-Ghazali pertama-tama belajar ilmu agama di kota Thus, kemudian meneruskan di kota Jurjan, dan akhirnya di Naisabur untuk belajar di Madrasah Al-Nizhamiyah pada Imam Al-Juwaini. Di sinilah ia mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantiq, falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i.
Sebelum Al-Juwaini wafat, ia memperkenalkan Al-Ghazali kepada Nizham al-Mulk perdana menteri Sultan Saljuk Maliksyah. Nizham al-Mulk adalah pendiri madrasah-madrasah Nizhamiyah. Setelah gurunya wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naisabur menuju negeri Askar untuk berjumpa dengan Nizham al-Mulk. Di daerah ini, ia mendapat kehormatan untuk berdebat dengan para ulama. Dari perdebatan yang dimenangkannya ini namanya semakin populer dan disegani karena keluasan ilmunya. Pada tahun 484 H (1091 M) Al-Ghazali diangkat menjadi guru besar di madrasah Nizhamiyah Baghdad selam kurang lebih 4 tahun.
Pada tahun 488 H (1095 M) Al-Ghazali dilanda keragu-raguan, skiptis, terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya, kegunaan pekerjaannya dan karya-karya yang dihasilkannya, sehingga ia menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati. Karena itu, Al-Ghazali tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai guru besar di madrasah Nizhamiyah. Akhirnya ia meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus. Dan di kota ini, ia merenung, membaca dan menulis, selama kurang labih dua tahun, dengan tasawufnya sebagai jalan hidupnya.
Kemudian ia pindah ke Bait al-Maqdis Palestina untuk melaksanakan ibadah serupa, setelah itu tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji dan menziarahi maqam Rasulullah. Sepulang dari tanah suci, Al-Ghazali mengunjungi kota kelahirannya Thus, di sini pun ia tetap ber-khalwat. Keadaan skiptis Al-Ghazali berlangsung selama 10 tahun. Pada periode itulah ia menulis karyanya yang terbesar yaitu Ihya’ ‘Ulum al Din.
Karena desakan penguasa Saljuk, Al-Ghazali mengajar kembali pada madrasah Nizhamiyah di Naisabur tetapi hanya berlangsung selama dua tahun, kemudian ia kembali ke Thus untuk mendirikan madrasah bagi para fuqaha dan sebuah zawiyah atau khanaqah untuk para mutasawwifun. Di kota inilah ia wafat pada tahun 505 H (1111 M).

B.     Karyanya
Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku telah dituliskannya yang meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain Teologi Islam (Ilmu Kalam), Hukum Islam (fiqh), Tasawuf, Tafsir, Akhlak, dan Adab Kesopanan, kemudian autobiografi. Sebagian besar  dari buku-buku tersebut di atas dalam bahasa Arab dan yang lain ditulisnya dalam bahasa Persia.
Pengaruh Al-Ghazali di kalangan kaum Muslimin besar sekali, sehingga menurut pandangan orang-orang ahli Ketimuran (Orientalis), agama Islam yang digambarkan oleh kebanyakan kaum Muslimin berpangkal pada konsepsi Al-Ghazali.
Karya Al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah, di antaranya adalah:
a.       Maqashid al-Falasifah (Tujuan-tujuan Para Filsuf), sebagai karangannya yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafat;
b.      Tahafut al-Falasifah (Kehancuran Pikiran Para Filsuf), buku ini dikarang sewaktu ia berada di Baghdad tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan. Dalam buku ini, Al-Ghazali mengecam filsafat dan para filsuf dengan keras;
c.       Mi’yar al-‘Ilm (Kriteria Ilmu-ilmu);
d.      Ihya ‘Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), buku ini merupakan karyanya yang terbesar yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Damaskus, Yerusalem, Hijaz dan Thus yang berisi paduan antara fikih, tasawuf dan filsafat;
e.       Al-Munqidz min al-Dhalal (Penyelamat Dari Kesesatan), buku ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al-Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan;
f.       Al-Ma’arif al-‘Aqliah (Pengetahuan Yang Rasional);
g.      Misykat al-Anwar (Lampu Yang Bersinar Banyak), buku ini berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf;
h.      Minhaj al-‘Abidin (Jalan Mengabdikan Diri Kepada Tuhan);
i.        Al-Iqtishad fi al-‘Itiqad (Moderasi Dalam Akidah);
j.        Ayyuha al-Walad;
k.       Al-Mustashfa;
l.        Iljam al-‘Awwam ‘an ‘Ilm al-Kalam;
m.    Mizan al-‘Amal.


C.     Filsafatnya
1.      Epistimologi
Sebagaimana dijelaskan Al-Ghazali dalam bukunya Al-Munqidz min al-Dhalal, ia ingin mencari kebenaran yang sejati, yaitu kebenaran yang diyakininya betul-betul. Pada mulanya Al-Ghazali beranggapan bahwa pengetahuan itu adalah hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indera. Tetapi, kemudian ternyata baginya bahwa pancaindera juga berdusta.
Karena tidak percaya dengan panca indera, Al-Ghazali kemudian meletakkan kepercayaannya kepada akal. Tetapi, akal juga tak dapat dipercaya. Dan yang dicari oleh Al-Ghazali adalah ‘ilm al-yaqini yang tidak mengandung pertentangan pada dirinya. Pada akal ia tidak menemukannya. Namun, Al-Ghazali tidak konsekwen dalam menguji kedua sumber pengetahuan itu. Akhirnya Al-Ghazali mengalami puncak kesangsian karena ia tidak menemukan sumber pengetahuan yang dapat dipercaya. Tetapi dua bulan kemudian dengan cara tiba-tiba Tuhan memberikan nur yang disebut juga oleh Al-Ghazali sebagai kunci ma’rifat ke dalam hatinya, sehingga ia merasa sehat dan dapat menerima kebenaran pengetahuan a priori yang bersifat aksiomatis. Dengan demikian, bagi Al-Ghazali bahwa al-dzaqw (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya daripada akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya. Sumber pengetahuan tertinggi tersebut dinamakan juga al-nubuwwat, yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada manusia biasa berbentuk ilham.
2.      Metafisika
Al-Ghazali menghantam pendapat-pendapat filsafat Yunani, di antaranya juga Ibnu Sina c.s., dalam dua puluh masalah. Di antaranya yang terpenting ialah:
a)      Al-Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat (Aritoteles) tentang azalinya alam dan dunia. Di sini Al-Ghazali berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada menjadi ada sebab diciptakan oleh Tuhan.
b)      Al-Ghazali menyerang kaum filsafat (Aritoteles) tentang pastinya keabadian alam. Ia berpendapat bahwa soal keabadian alam itu terserah kepada Tuhan semata-mata. Mungkin saja alam itu terus menerus tanpa akhir andaikata Tuhan menghendakinya. Akan tetapi, bukanlah suatu kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan oleh dirinya sendiri di luar Iradat Tuhan.
c)      Al-Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal yang kecil (juz’iyat). Menurut Al-Ghazali ilmu Tuhan adalah suatu tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain dari zat, kalau terjadi perubahan pada tambahan atau sifat tambahan tersebut, zat Tuhan tetap dalam keadaannya.
d)     Al-Ghazali juga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab dan akibat semata-mata, dan mustahil ada penyelewengan dari hukum itu. Bagi Al-Ghazali segala peristiwa yang serupa dengan hukum sebab dan akibat itu hanyalah kebiasaan (adat) semata-mata, dan bukan hukum kepastian. Dalam hal ini jelas Al-Ghazali menyokong pendapat Ijraul-‘adat dari Al Asy’ari. 
3.      Etika
Filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam bukunya Ihya ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya.
Dalam Ihya ‘Ulumuddin itu Al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadat dari tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnya dalam mengupas soal at-thaharah ia tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir saja, tetapi juga kebersihan rohani. Dalam penjelasannya yang panjang-lebar tentang sholat, puasa, dan haji, kita dapat menyimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari segala jalan pemebersihan rohani.
Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya (taqarub) terhadap Tuhan. 
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Dalam hal ini ia sama sekali tidak cocok dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menanggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali, sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar dimana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagaimana cara bertaqarrub kepada Allah itu, Al-Ghazali memberikan beberapa cara latihan yang langsung mempengaruhi rohani. Di antaranya yang terpenting ialah muraqabah, yakni merasa diawasi terus oleh Tuhan, dan almuhasabah, yakni senantiasa mengoreksi diri sendiri.
4.      Jiwa
Manusia menurut Al-Ghazali diciptakan Allah sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa yang menjadi inti hakikat manusia adalah makhluk spiritual rabbani yang sangat halus (lathifa rabbaniyah ruhaniyyah). Istilah-istilah yang digunakan Al-Ghazali untuk itu adalah qalb, ruh, nafs, dan ‘aql.
Jiwa bagi Al-Ghazali adalah suatu zat (jauhar) dan bukan suatu keadaan atau aksiden (‘ardh) sehingga ia ada pada dirinya sendiri. Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa dan bukan sebaliknya. Jiwa berada di alam spiritual sedangkan jasad berada di alam materi. Jiwa bagi Al-Ghazali berasal sama dengan malaikat. Asal dan sifatnya ilahiyah. Ia tidak pre-eksisten tidak berawal dengan waktu seperti menurut Plato dan filsuf lainnya. Tiap jiwa pribadi diciptakan Allah di alam alas (‘alam al-arwah) pada saat benih manusia memasuki rahim dan jiwa lalu dihubungkan dengan jasad. Setelah kematian, jasad musnah tapi jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan kematian tersebut kecuali kehilangan wadahnya.
Bagi Al-Ghazali, jiwa yang berasal dari ilahi mempunyai potensi kodrati (ashl al-fitrah) yaitu kecenderungannya kepada kebaikan dan keengganan kepada kekejian, sedangkan jasad berasal dari ‘alam al-khalaq. Karena itu, kecenderungan jiwa terhadap kejahatan (yang timbul setelah lahirnya nafsu) bertentangan dengan tabiat aslinya.
Mengenai prihal kekekalan jiwa yang problematik itu, Al-Ghazali menegaskan bahwa Tuhan sesungguhnya dapat menghancurkan jiwa (al-nafs), tetapi Ia tidak melakukannya. Di sini Al-Ghazali berada di persimpangan pandangan sebagai mutakallimin dan pandangan sebagai filsuf. Hal tersebut dibantahnya dalam buku Tahafut al-Falasifah, yang dibantahnya adalah dalil-dalil rasional yang digunakan para filsuf untuk membuktikan kekekalan jiwa itu. Menurutnya, hanya syara’ yang bisa menjelaskan persoalan al-ma’ad (kehidupan di akhirat).
5.      Konsep Iman dan Kufur
Al-Ghazali dalam pemikirannya, menentang ilmu kalam dan para ulama kalam. Sebagaimana penyerangannya terhadap argumen-argumen para filosuf, tetapi tetap ia menjadi tokoh filosuf. Kritikan Al-Ghazali kepada para ulama kalam hanya ditujukan kepada tingkah laku mereka dan kejauhan hati mereka dari agama yang dipertahankannya oleh mereka melalui argumentasi.
Dalam memperkuat iman orang-orang biasa, menurut Al-Ghazali tidak diperlukan argumen-argumen pemikiran yang dalam. Ia menyayangkan adanya pertentangan pendapat dalam beberapa persoalan dan tuduhan telah menjadi kafir yang dikeluarkan pengikut beberapa aliran terhadap orang lain yang tidak sependapat dengan mereka, karena dirasa perlu untuk memberikan batas pemisahan antara iman dengan kufur dan atau antara Islam dengan non Islam.
Al-Ghazali membuat garis pemisahan antara iman dan kufur, dengan mengatakan: “Kufur adalah mendustakan Rasul tentang apa yang dibawanya, sedang iman ialah mempercayai semua yang dibawanya. Orang Yahudi dan Masehi adalah orang kafir, karena kedua-duanya mendustakan Rasul. Orang-orang agama Brahmana lebih-lebih lagi, karena mengingkari semua Rasul-rasul termasuk Rasul Muhammad saw. kemudian menyusul orang-orang agama dualisme, orang-orang zindoq dan orang-orang materialis. Mereka semuanya adalah orang-orang musyrik, karena mendustakan Rasul. Setiap orang kafir mendustakan Rasul, dan setiap orang yang mendustakan Rasul adalah orang kafir, ini adalah garis pemisah yang berlaku terus”.
Ia mengatakan lagi: “Orang yang mentakwilkan tidak boleh dikafirkan, selama mereka berjalan di atas aturan ta’wil. Bagaimana karena penta’wilan semata-mata sudah menjadi kafir, sedang semua pihak dalam Islam mesti memakai ta’wil”.
Oleh karena itu, tidaklah mudah mengatakan golongan ini kafir, aliran iman, melainkan diperlukan keterangan yang panjang, segi-segi mana yang membawa kekufuran dan segi-segi mana yang tidak membawa kekufuran.
Yang disebut dengan iman tidak hanya cukup dengan mengetahui syariat, tetapi harus dengan mengamalkan perintah-perintahnya. Menurut Al-Ghazali, meskipun seorang membaca seratus ribu kali masalah keilmuan dan mengkajinya pula, tetapi tidak mengamalkannya, maka tidak akan berguna baginya, kecuali dengan amalannya itu. Islam bukan hanya membaca Al-Qur’an, shalat berjamaah dan mengangungkan syariat dengan lisan, tetapi juga pembersihan, keperwiraan dan takwa kepada Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, Ahmad. 1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Mustofa, A. 1997. Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia
Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama

1 komentar:

  1. TAKUT MENANG TAPI TIDAK DI BAYAR ???
    Mau menang banyak dan langsung cair dalam hitungan menit ?
    Hanya di P'O'K'E'R V`1`T`A yang bisa memuaskan pemain Judi Poker Online tanpa diragukan lagi.

    100 % AKAN KAMI BAYAR ATAUPUN KEMBALIKAN DANA YANG ANDA MENANGKAN, BERAPAPUN NILAI NOMINAL TERSEBUT
    BAHKAN RATUSAN JUTA !!!

    P'O'K'E'R V`1`T`A Menyediakan BONUS-BONUS Untuk ANDA Diantaranya :
    -BONUS REFERRAL 15% (SEUMUR HIDUP/SETIAP SENIN )
    -BONUS CASHBACK TUROVER ( SETIAP HARI )
    -NO ROBOT,NO ADMIN
    -Proses Deposit dan Withdraw Dengan Cepat
    -Dilayani CS Yang Ramah Dan Profesional
    -Menyediakan 5 bank lokal : BCA,BNI,BRI,MANDIRI, DAN DANAMON
    Festival Poker 2019
    WA: 0812.2222.996
    BBM : PKRVITA1 (HURUF BESAR)
    Wechat: pokervitaofficial
    Line: vitapoker

    BalasHapus