Makalah
Kosmos Didalam
Islam
Disusun guna untuk memenuhi tugas mata
kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu : Miftakhul Huda, M.Ag
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Secara
terminologi, penciptaan alam dapat dipahami sebagai sebuah peristiwa ketika
alam semesta atau jagat raya dan segala isinya ini muncul dan mengad. Berbicara tentang alam semesta, tentu saja
di dalam benak kita sebagai manusia biasa timbul sebuah pertanyaan bagaimanakah
alam semesta yang begitu besar dan luas tak bertepi ini berawal, kemana ia
menuju bagaimana hukum yang menjaga tatanan dan keseimbangannya bekerja. Alam
semesta itu ada seperti yang kita ketahui sekarang ini bukanlah tanpa suatu
proses, akan tetapi alam semesta ini ada karena tercipta dan melalui proses
yang begitu panjang Kemajuan cara berpikir manusia membuat para ilmuwan
merumuskan teori mengenai terbentuknya alam semesta. Bagaimana konsepsi para ilmuwan tentang
penciptaan alam semesta? Konsepsi itu berubah-ubah sepanjang sejarah,
bergantungpada tingkat kecanggihan alat-alat dan sarana observasinya, dan
bergantung pada tingkat kemajuan fisika itu sendiri.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
makna kosmos ?
2.
Bagaimana
Proses kejadian alam?
3.
filsafat
kosmos dalam islam?
4.
Menjelaskan
teori emanasi farabi dan sina?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makna Kosmos
Kosmologi
merupakan kajian tentang alam semesta sebagai suatu sistem rasional yang
teratur, termasuk didalamnya dikaji aspek metafisika dari ruang, gerak, waktu,
perubahan, kausalitas, dan keabadian. Dlam teori modern , kosmologi lebih
khusus membahas tentang asal-usul, struktur, sifat dan perkembangan fisik alam
semesta dengan dasr pengamatan dan metodologi ilmiah.
Dalam
bahasa Yunani, kosmos artinya susunan atau keteraturan. Lawan dari
kosmos adalah chaos, yaitu keadaan kacau balau. Makro kosmos adalah suatu
susunan keseluruhan atau kompleks yang dipandang dalam totalitasnya atau
sebagai sesuatu keseluruhan yang aktif serta terstruktur. Kadang diartikan
sebagai alam semesta itu sendiri sebagai sebuah keseluruhan atau sistem yang
terpadu dan tunggal. Lawan dri makro kosmos adalah mikro kosmos, yaitu bagian
kecil dari suatu kompleks atau dari satu
keseluruhan, dan yang di maksud di sini adalah manusia. Mengapa manusia disebut
mokrokosmos, karena secara struktur material, unsur-unsur yang membentuk
manusia itu sama persis dengan semua unsur yang ada di alam. Demikian juga
dalam unsur batiniahnya serta sistem geraknya juga sama dengan sistem gerakan
realitas yang terjadi di alam semesta ini.
Dalam
konsep filsafat islam , alam semesta adalah wujud eksistensi tuhan dalam
kehidupan dunia ini, dan mencerminkan tanda-tanda kebesaran tuhan atau
ayat-ayat-nya. Alam semesta tidak bisa dilihat dengan mata kepala manusia,
karena penglihatan mata kepala manusia sangat terbatas meskipun menggunakan
paling canggih sekalipun.
Alam semesta sebagai eksistensi tuhan tidak terbatas yang terbatas
adalah wujud-wujud keseluruhan sejenis dari bagian alam langit, bumi, samudra,
dan gunung serta manusia. Oleh karena itu wujud-wujud keseluruhan sejenis akan
rusak bersifat sementara berubah bahkan mati. Alam semesta sebagai eksistensi
tuhan hanya bisa dipahami melauli kemampuan intelek dalam dimensi spritualisnya
yang dapat memahami tanda-tanda tuhan atau ayat-ayat tuhan yang terkandung atau
tersembunyi dalam semua wujud keseluruhan sejenis.[1]
B.
Proses penciptaan alam
Dalam
konsep filsafat islam, sesungguhnya alam kehidupan ini hanya ada dua pencipta,
sebagai aktualisasi nafs, keakuan, yaitu pencipta mutlak, pencipta pertama yang
tak terbatas dan pencipta relatif, pencipta kedua yang terbatas. Pencipta
mutlak sebagai eksistensi nafs, keakuan mutlak, dan pencipta relatif sebagai
eksistensi nafs, keakuan terbatas, yaitu eksistensi nafs Tuhan, dan eksistensi
nafs manusia.
Oleh
karena itu, proses penciptaan pada hakikatnya hanya terjadi pada alam hierarkis
3 sampai 6, dimana pada alam hierarkis 3 diciptakan oleh Tuhan sendiri,
sedangkan alam hierarkis 4 tercipta oleh proses mekanisme hukum alam besar,
hierarkis 6 dan 7 ditentukan oleh kapasitas konseptual manusia. Proses-proses
penciptaan tersebut di atas, terikat oleh hukum-hukum penciptaan yang
mensyaratkan adanya beberapa faktor.
Adapun
pendekata untuk mencari jawaban tentang pesoalan penciptaan pada alam hierarkis
3 dan 4 ini yang paling tepat adalah melalui pendekatan perenungan dan pemahaman terhadap firman-firman Tuhan
yang menciptakan tentang penciptaan itu, yang dihimpun hanya dalam kitab suci,
yang dalam pembahasan ini adalah kitab suci Al-Qur’an. Kajian ilmiah untuk
mengetahui bagaimana Tuhan menciptakan alam hierarkis 3 dan 4 adalah kurang
memadai, karena ada aspek yang berkaitan dengan eksistensi Tuhan. Sedngkan
kajian ilmiah itu dilakukan hanya untuk mencari tahu bagaimana penciptaan alam
hierarkis 6 dan 7, karena penciptaan alam hierarkis ini, sepenuhnya ditentukan
oleh kemampuan konseptual manusia.
Mengenai
penciptaan keseliruhan sejenis, yaitu langit dan bumi serta apa yang ada di
antara keduanya, QS.As-Sajdah:4 mengatakan:
ٱللَّهُ
ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَمَا بَيۡنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ
ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ مَا لَكُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَلِيّٖ وَلَا
شَفِيعٍۚ أَفَلَا تَتَذَكَّرُونَ ٤
Artinya : Allah yang menciptakan langit, bumi dan apa yang ada di
antara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia berkuasa atas 'Arsy. Tiada bagi
kamu selain pelindung dan penolong selain dari Dia, maka apakah kamu tidak
mengambil pelajaran?
Jika
langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya diciptakan Tuhan dalam
enam hari, maka untuk bumi saja diciptakan dalam dua hari, QS.Fussilat:9
mengatakan:
۞قُلۡ أَئِنَّكُمۡ لَتَكۡفُرُونَ بِٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡأَرۡضَ فِي
يَوۡمَيۡنِ وَتَجۡعَلُونَ لَهُۥٓ أَندَادٗاۚ ذَٰلِكَ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٩
Artinya : Katakanlah, sesungguhnya apakah kamu mengingkari Yang
menciptakan bumi dalam dua hari, dan kamu menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya?
Itulah Tuhan alam semesta.
Demikian
juga untuk langit yang berjumlah tujuh tingkat diciptakan oleh Tuhan dalam dua
hari, seperti yang di tegaskan oleh QS.Fussilat:12 mengatakan:
فَقَضَىٰهُنَّ
سَبۡعَ سَمَٰوَاتٖ فِي يَوۡمَيۡنِ وَأَوۡحَىٰ فِي كُلِّ سَمَآءٍ أَمۡرَهَاۚ
وَزَيَّنَّا ٱلسَّمَآءَ ٱلدُّنۡيَا بِمَصَٰبِيحَ وَحِفۡظٗاۚ ذَٰلِكَ تَقۡدِيرُ ٱلۡعَزِيزِ
ٱلۡعَلِيمِ ١٢
Artinya : Maka Dia jadikan tujuh langit dalam dua hari, dan Dia
mewahyukan kepada tiap-tiap langit urusannya, dan Kami hiasi langit dunia
dengan bintang-bintang serta pemeliharaannta. Demikianlah ketentuan Yang Maha
Perkasa lagi Maha Mengetahui.
Akan
tetapi hari (yaum) yang dipakai untuk menciptakan langit dan bumi itu tidak 24
jam, dan ukurannya seribu tahun menurut perhitungan tahun manusia.
QS.As-Sajdah:5 mengatakan:
يُدَبِّرُ
ٱلۡأَمۡرَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ ثُمَّ يَعۡرُجُ إِلَيۡهِ فِي يَوۡمٖ
كَانَ مِقۡدَارُهُۥٓ أَلۡفَ سَنَةٖ مِّمَّا تَعُدُّونَ ٥
Artinya : Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian naik
kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitungan kamu.
Adapun
mengenai bahan yang dipakai dalam penciptaan langit, dimungkinkan dari asap,
seperti dijelaskan QS.Fussilat:11
ثُمَّ
ٱسۡتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ وَهِيَ دُخَانٞ فَقَالَ لَهَا وَلِلۡأَرۡضِ ٱئۡتِيَا
طَوۡعًا أَوۡ كَرۡهٗا قَالَتَآ أَتَيۡنَا طَآئِعِينَ ١١
Artinya : Kemudian Dia menuju langit dan langit itu berupa asap,
lalu Dia berkata kepada langit dan bumi: Datanglah kamu berdua dengan patuh
atau terpaksa, keduanya berkata : kami datang dengan patuh.
Sedangkan
mengenai bahan yang dipakai untuk menciptakan manusia, berasal dari tanah
(bumi) seperti yang dijelaskan QS.As-Sajdah:7-9
ٱلَّذِيٓ
أَحۡسَنَ كُلَّ شَيۡءٍ خَلَقَهُۥۖ وَبَدَأَ خَلۡقَ ٱلۡإِنسَٰنِ مِن طِينٖ ٧ ثُمَّ
جَعَلَ نَسۡلَهُۥ مِن سُلَٰلَةٖ مِّن مَّآءٖ مَّهِينٖ ٨ ثُمَّ سَوَّىٰهُ وَنَفَخَ
فِيهِ مِن رُّوحِهِۦۖ وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفِۡٔدَةَۚ
قَلِيلٗا مَّا تَشۡكُرُونَ ٩
Artinya : yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan
sebaik-baiknya, dan Dia memulai kejadian penciptaan manusia dari tanah, kemudia
Dia menjadikan keturunan manusia dari air mani yang hina, kemudian Dia
menyempurnakannya dan meniupkan keadanya dari ruh-Nya, dan Dia mejadikan untuk
kamu pendengaran, penglihatan, dan hati. Sedikit sekali kamu bersyukur.
Adapun
tentang kehidupan atau daya hidup itu diciptakan Tuhan dari air, karena dari
air tetumbuhan , binatang dan manusia mendapatkan kehidupan untuk tumbuh dan
berkembang biak. QS.Al-Anbiya’:30 mengatakan:
أَوَ
لَمۡ يَرَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَنَّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ كَانَتَا رَتۡقٗا
فَفَتَقۡنَٰهُمَاۖ وَجَعَلۡنَا مِنَ ٱلۡمَآءِ كُلَّ شَيۡءٍ حَيٍّۚ أَفَلَا
يُؤۡمِنُونَ ٣٠
Artinya : Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air, maka
apakah mereka tidak beriman?
Penciptaan
semua yang ada itu dilakukan dengan ukuran. Ukuran itu adalah batas-batas yang
terdapat didalamnya yang membuatnya tidak bisa keluar dari batas-batas yang
sudah ditentukan oleh Penciptanya, seperti yang dijelaskan oleh QS.Al-Qamar:49
إِنَّا كُلَّ شَيۡءٍ
خَلَقۡنَٰهُ بِقَدَرٖ ٤٩
Artinya : Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan
ukuran.
Dalam
penciptaan alam hierarkis 3 dan 4 itu, didalamnya ada mekanisme kontrol yang
bekerja secara otomatis untuk memelihara, memperbaiki dan memperbaharui keadaan
internalnya, seperti yang dijelaskan QS.Al-A’raf:54
إِنَّ
رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ
ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ يُغۡشِي ٱلَّيۡلَ ٱلنَّهَارَ يَطۡلُبُهُۥ
حَثِيثٗا وَٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَ وَٱلنُّجُومَ مُسَخَّرَٰتِۢ بِأَمۡرِهِۦٓۗ أَلَا
لَهُ ٱلۡخَلۡقُ وَٱلۡأَمۡرُۗ تَبَارَكَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٥٤
Artinya : Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah
menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, lalu Dia sengaja menciptakan
‘arsy. Dia tutup malam dengan siang yang mengikutinya dengan cepat. Matahari,
bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ketahuilah, mencipta dan
mengarahkan hanyalah hak Allah, Maha Besar Allah, Tuhan alam semesta.
Semua
penciptaan langit, bumi dan seisinya tidak main-main, dan semuanya diciptakan
dengan kebenaran, seperti yang ditegaskan QS.Ad-Dukhan:38-39
وَمَا
خَلَقۡنَا ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَمَا بَيۡنَهُمَا لَٰعِبِينَ ٣٨ مَا خَلَقۡنَٰهُمَآ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ وَلَٰكِنَّ
أَكۡثَرَهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٩
Artinya : Dan tidaklah kami ciptakan langit, bumi dan apa yang di
antara keduanya dengan sia-sia. Kami menciptakan keduanya dengan kebenaran,
tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya.
Adapun
mengenai penciptaan alam 6 dan 7 sepenuhnya terikat oleh hukum-hukum
penciptaan, dimana eksistensi manusia bertindak sepenuhnya sebagai pencipta
berdasarkan pada kemampuan konseptualnya, membentuk bahan menjadi wujud budaya,
dalam jangka waktu tertentu menjadi model-model budaya, yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan kehidupannya. Jika dalam alam 3 dan 4 di dalamnya ada
mekanisme kontrol yang bekerja otomatis untuk mengarahkan kehidupan dari
internalnya, maka dalam alam 6 dan 7 di dalamnya tidak ada mekanisme yang
bekerja secara otomatis, sepenuhnya bergantung dan tergantung manusia.[2]
C.
Kosmologi dalam Filsafat Islam
Kosmologi
berasal dari kata Yunani “kosmos” dan “logos”. “Kosmos” berarti susunan, atau
ketersusunan yang baik. Lawannya ialah “khaos”, yang berarti “kacau balau”
(Bakker, 1995: 39). Sedangkan “logos” juga berarti “keteraturan”, sekalipun
dalam “kosmologi” lebih tepat diartikan sebagai “azas-azas rasional” (Kattsoff,
1986: 75).
Dalam
sejarah filsafat Barat, tercatat Phytagoras (580 – 500 SM) merupakan orang yang
pertama kali memakai istilah “kosmos” sebagai terminologi filsafat. Bahkan
dalam tradisi Aristotelian, penyelidikan tentang keteraturan alam disebut
sebagai “fisika” (bukan dalam pengertian modern), dan filsafat Skolastik
memakai nama “filsafat alami” (philosophia naturalis) untuk menyebut hal yang
sama (Bakker, 1995: 40).
Istilah
“kosmologi” (cosmology) dipakai pertama kali oleh Christian von Wolff dalam
bukunya “Discursus Praeliminaris de Philosophia in Genere” tahun 1728, dengan
menempatkannya dalam skema pengetahuan filsafat sebagai cabang dari
“metafisika” dan dibedakan dengan cabang-cabang metafisika yang lain seperti
“ontologi”, “teologi metafisik”, maupun “psikologi metafisik” (Munitz, dalam
Edward, ed., 1976: 237). Dengan demikian, sejak “klasifikasi Christian”,
“kosmologi” dimengerti sebagai sebuah cabang filsafat yang membicarakan asal
mula dan susunan alam semesta; dan dibedakan dengan “ontologi” atau “metafisika
umum” yang merupakan suatu telaah tentang watak-watak umum dari realitas natural
dan supernatural; juga dibedakan dengan “filsafat alam” (The philosophy of
nature) yang menyelidiki hukum-hukum dasar, proses dan klasifikasi objek-objek
dalam alam (Runes, 1975: 68-69).
Namun
demikian, walau secara definitif “kosmologi” dibedakan dengan “ontologi” maupun
“filsafat alam”, pemilahan yang tegas dalam analisis konseptual antara ketiga
bidang tersebut merupakan suatu usaha yang sulit dikerjakan, mengingat objek
material dan objek formal yang hampir sama. Selain dipakai dalam khasanah
pemikiran filsafat, istilah “kosmologi” juga dipakai dalam lingkup ilmu
empiris, yakni dikenali sebagai ilmu yang menggabungkan hasil-hasil pengamatan
astronomis dengan teori-teori fisika dalam rangka menyusun hal-hal astronomis
atau fisis dari alam semesta dalam suatu kesatuan dengan skala yang besar
(Munitz, dalam: Edward, ed, 1976: 238).
Kosmologi
ilmiah (scientific cosmology) lebih berpijak pada suatu studi empiris tentang
gejala-gejala astronomis. Upaya-upaya yang selalu dilakukan adalah membuat
model-model “alam semesta” atas dasar penemuan-penemuan observatorial oleh para
astronom. Dengan demikian sangat berbeda dengan “kosmologi filsafat” yang murni
konsepsional dan merupakan analisis kategorial yang dilakukan secara
“spekulatif” oleh para filsuf. Adapun kajian filosofis terhadap “kosmologi
ilmiah” merupakan sub-bagian dari kajian “filsafat ilmu”, dengan fokus telaah
pada aspek-aspek metodologis dan epistemologis bangunan “kosmologi ilmiah”
sebagai “ilmu”.
Kajian
yang dilakukan dalam makalah ini adalah kajian kosmologi filsafat, sekalipun
unsur-unsur pemikiran yang ditelaah terkait dengan kosmologi ilmiah tentang
ruang-waktu, yang bagimana pun terkait pula dengan gejala-gejala fisis dan
astronomis.[3]
D.
Teori Emanasi Al-Farabi dan Ibnu Sina
1.
Emanasi
farabi
Al-Farabi
menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya yang banyak (alam)
yang bersifat materi dari Yang Esa (Allah) jauh dari arti materi dan Maha
sempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan
penggerak pertama (Prime cause),
seperti yang dikemukakan Aristoteles. Sementara dalam doktrin ortodoks Islam (al-mutakallimin), Allah adalah Pencipta
(Shani, Agent), yang menciptakan dari
tiada menjadi ada (creito ex nihilo).
Untuk mengislamkan doktrin ini, Al-Farabi, -juga filosof Muslim lainnya-
mencari bantuan pada doktrin Neoplatonis monistik tentang emanasi. Dengan
demikian, Tuhan penggerak Aristoteles bergeser menjadi Allah Pencipta, yang
menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Dengan arti,
Allah menciptakan alam semenjak azali, materi alam berasal dari energy yang
kadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu. Sebab itu,
menurut filosof Muslim, kun Allah yang termaktub dalam Alquran ditujukan kepada
syai’ (sesuatu) bukan kepada la syai’ (nihil).
Telah
dikemukakan bahwa Allah adalah Aql,Aqil, dan
Ma’qul. Ia sebut Allah adalah ‘Aql karena Allah adalah Pencipta dan Pengatur
alam, yang beredar menurut aturan yang luar biasa rapid an teratur tanpa cacat
sedikitpun, mestilah Ia suatu substansi yang memiliki daya berpikir yang luar
biasa. Oleh sebab itu, cara Allah menciptakan alam ialah dengan ber-ta’aqqul terhadap zat-Nya dengan
proses sebagai berikut.
Allah Mahasempurna, Ia tidak memikirkan dan berhubungan dengan alam
karena terlalu rendah bagi-Nya untuk memikirkan dan berhubungan dengan alam
yang tidak sempurna. Allah cukup memikirkan-bedakan antara term’aql dan fikr dalam terminology Alquran- zat-Nya, maka terciptalah energy
yang maha dahsyat secara pancaran dan dari energy inilah terjadinya Akal
Pertama (juga memadat dalam bentuk materi). Akal Pertama berpikir tentang Allah
menghasilkan Akal Kedua dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Langit
Pertama. Akal Kedua berpikir tentang Allah menghasilkan Akal Ketiga dan
berpikir tentang dirinya menghasilkan bintang-bintang. Akal Ketiga berpikir
tentang Allah menghasilkan Akal Keempat dan berpikir tentang dirinya
menghasilkan Saturnus. Akal Keempat berpikir tentang Allah menghasilkan Akal
Kelima dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Yupiter. Akal Kelima berpikir
tentang Allah menghasilkan Akal Keenam dan berpikir tentang dirinya
menghasilkan Mars. Akal Keenam berpikir tentang Allah menghasilkan Akal Ketujuh
dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Matahari. Akal Ketujuh berpikir tentang
Allah menghasilkan Akal Kedelapan dan berpikir tentang dirinya menghasilkan
Venus. Akal Kedelapan berpikir tentang Allah menghasilkan Akal Kesembilan dan
berpikir tentang dirinya menghasilkan Merkuri. Akal Kesembilan berpikir tentang
Allah menghasilkan Akal Kesepuluh dan berpikir tentang dirinya menghasilkan
Rembulan. Akal Kesepuluh, karena daya akal ini sudah lemah, maka ia tidak lagi
dapat menghasilkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, roh-roh, dan
materi pertama menjadi dasar keempat unsure pokok: air, udara, api, dan tanah.
Akal Kesepuluh ini disebut Akal Fa’al (Akal Aktif) atau wahib al-Shuwar
(pemberi bentuk) dan terkadang disebut Jibril yang mengurus kehidupan di bumi.
Akal-akal dan planet-planet itu terpancar secara berurutan dalam
waktu yang sama. Hal ini dapat terjadi karena dalam Allah berpikir tentang
diri-Nya, seperti yang disebutkan daya atau energi.
Kalau pada Allah hanya terdapat satu objek pemikiran, yakni
zat-Nya, sedangkan pada akal-akal terdapat dua objek pemikiran: Allah dan akal-akal.
Disini yang perlu dipertanyakan, factor apa yang mendorong
Al-Farabi mengemukakan emanasi ini? Tampaknya Al-Farabi ingin menegaskan
tentang keesaan Allah, bahkan melebihi Al-Kindi. Allah bukan hanya dinegasikan
dalam artian ‘aniah dan mahiah, tetapi juga lebih jauh lagi.
Allah adalah Esa sehingga tidak mungkin Ia berhubungan dengan yang tidak esa
atau yang banyak. Andaikan alam diciptakan secara langsung oleh Allah, maka
mengakibatkan Ia berhubungan dengan yang tidak sempurna dan ini akan menodai keesaan-Nya.
Oleh sebab itu, dari Allah hanya timbul satu, yakni Akal Pertama. Akal Pertama
ini mengandung arti banyak, bukan banyak jumlah, tetapi merupakan sebab dari
pluralitas. Dari itu Akal Pertama berfungsi sebagai mediator antara yang Esa
dan yang banyak sehingga dapat dihindarkan hubungan langsung antara Yang Esa
dan yang banyak.
Emanasionisme Al-Farabi ini jelas cangkokan doktrin Plotinus yang
dikombinasikan dengan system kosmologi ptalomeus sehingga menimbulkan kesan
bahwa Al-Farabi hanya mengalihbahasakan dari bahasa sebelumnya ke dalam bahasa
Arab. Menurut Nurcholish Madjid, Al-Farabi mempelajari dan mengambil ramuan
asing ini terutama karena paham ketuhanannya memberikan kesan tauhid.
Emanasi melahirkan alam kadim dari segi zaman (taqaddum zamany), bukan dari segi zat (taqaddum zaty). Karena alam dijadikan Allah secara emanasi sejak
azali tanpa diselangi oleh waktu, namun ia sebagai hasil ciptaan, berarti ia
baharu.
Struktur emanasi Al-Farabi ini dipengaruhi oleh temuan saintis saat
itu, yakni Sembilan planet dan satu bumi. Karenanya, ia membutuhkan sepuluh
akal, setiap satu akal mengurusi satu planet termasuk bumi. Sekiranya Al-Farabi
hidup saat ini, tentu saja ia akan membutuhkan banyak sekali akal sebanyak
planet yang ditemukan saintis sekarang.[4]
2.
Emanasi
ibnu sina
Ibnu Sina, sebagaimana juga Al-Farabi menemui kesulitan dalam
menjelaskan bagaimana terjadinya yang banyak yang bersifat materi (alam) dari
Yang Esa, jauh dari arti banyak, jauh dari materi, Mahasempurna, dan tidak
berkehendak apa pun (Allah). Untuk memecahkan masalah ini, ia juga mengemukakan
penciptaan secara emanasi.
Telah disebutkan bahwa filsafat emanasi ini bukan hasil renuangan
Ibnu Sina (juga Al-Farabi), tetapi berasal dari “ramuan Plotinus” yang
menyatakan bahwa alam ini terjadi karena pancaran dari Yang Esa (The One).
Kemudian, filsafat Plotinus yang berprinsip bahwa “Dari Yang Satu hanya satu
yang melimpah”. Ini diislamkan oleh Ibnu Sana (juga Al-Farabi) bahwa Allah
menciptakan alam secara emanasi. Hal ini memungkinkan karena dalam Alquran
tidak ditemukan informasi yang rinci tentang penciptaan alam dari materi yang
sudah ada atau dari tiadanya. Dengan demikian, walaupun prinsip Ibnu Sana dan
Plotinus sama, namun hasil dan tujuan berbeda. Oleh karena itu, dapat
dikatakan, Yang Esa Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah
Pencipta (Shani, Agent) yang aktif. Ia menciptakan alam dari materi
yang sudah ada secara pancaran.
Adapun proses terjadinya pancaran tersebut ialah ketika Allah wujud
(bukan dari tiada) sebagai akal (aql) langsung memikirkan (ber-ta’aqqul) terhadap zat-Nya yang menjadi objek pemikiran-Nya,
maka memancarlah Akal Pertama. Dari Akal Pertama ini memancarkan Akal Kedua,
Jiwa Pertama, dan Langit Pertama. Demikianlah seterusnya sampai Akal Kesepuluh
yang sudah lemah dayanya dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya, dan
hanya menghasilkan Jiwa Kesepuluh, bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar
bagi keempat unsure pokok: air, udara,api, dan tanah.
Berlainan dengan Al-Farabi, bagi Ibnu Sina Akal Pertama mempunyai
dua sifat: sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin
wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian, Ibnu Sina membagi
objek pemikiran akal-akal menjadi tiga: Allah (Wajib al-wujud li dzatihi), dirinya akal-akal (mumkin al-wujud) ditinjau dari hakikat dirinya.
Emanasi Ibnu Sina juga menghasilkan sepuluh akal dan Sembilan
planet. Sembilan akal mengurusi Sembilan planet dan Akal Kesepuluh mengurusi
bumi. Berbeda dengan pendahulunya, Al-Farabi, bagi Ibnu Sina masing-masing jiwa
berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena akal (imateri) tidak bisa
langsung menggerakkan planet yang bersifat materi. Akal-akal adalah para
malaikat, Akal Pertama adalah Malaikat Tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah
Malaikat Jibril bertugas mengatur bumi dan isinya.
Sebagai Al-Farabi, Ibnu Sina juga memajukan emanasi ini untuk
mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya. Oleh karena itu, Allah tidak bisa
menciptakan alam yang banyak jumlah unsurnya ini secara langsung. Jika Allah
berhubungan langsung dengan alam yang plural ini tentu dalam pemikiran Allah
terdapat hal yang plural. Hal ini merusak citra tauhid.[5]
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Jauharie, Imam Khanafie,M.Ag. 2006 filsafat Islam.
Yogyakarta : Grama Media
Dermawan,Andy. 2002. filsafat islam sunnah nabi dan berpikir.
yogyakarta : LESFI
Sirajuddin,
2004. Filsafat Islam. Jakarta: PT Raja Gravindo,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar