BAB I
PEMBAHASAN
A. Hadits Persaudaraan, Tolong Menolong, Menutup
Aib Orang Lain
عَنْ ابْنُ شِهَا بٍ أَنَّ
سَالِمًا أَخْبَرَهُ أَنَّ عَنْ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
اَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
الْمُسْلِمُ اَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِى
حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللهُ فِى حَاجَتِهِ ، وَمَن فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً
مِنْ كُرُ بَاتِ يَوْمِ القِيَامَةِ، وَ مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ
يَوْمَ القِيَامَةِ.
Artinya :
Dari Ibnu Syihab bahwa
Salim mengabarkan kepadanya, sesungguhnya Abdullah bin Umar RA mengabarkan
kepadanya bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Seorang muslim adalah saudara muslim
yang lain, tidak boleh mengdzaliminya dan tidak menyerahkannya. Barangsiapa
mengusahakan kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya.
Barangsiapa melapangkan satu kesusahan seorang muslim, maka Allah akan
melapangkan satu kesusahan diantara kesusahan-kesusahannya pada hari Kiamat. Barangsiapa menutub (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (aib)nya
pada hari Kiamat.”[1]
B. Keterangan Hadits
الْمُسْلِمُ اَخُو الْمُسْلِمِ (seorang muslim adalah saudara muslim yang lain).
Ini adalah bentuk ukhuwah (persaudaraan) di dalam Islam. Apabila ada dua
hal yang mempunyai kesamaan, maka dinamakan bersaudara. Dalam hal ini tidak ada
perubahan antara orang yang merdeka, budak, orang dewasa dan anak-anak.
لاَ يَظْلِمُهُ (tidak mendzhaliminya). Ini adalah kalimat
berita yang bermakna perintah. Hal itu dikarenakan kezhaliman seorang muslim
terhadap muslim lainnya adalah haram. Sedangkan perkataan “tidak
menyerahkan”, yakni tidak membiarkannya bersama orang yang mengganggunya
dan tidak pula membiarkan pada sesuatu yang menyakitinya. Bahkan, seharusnya
dia menolong dan membela saudaranya. Hal ini lebih spesifik daripada sekedar
tidak berbuatzhalim terhadapnya. Membela saudara bisa memiliki tingkatan wajib
dan bisa pula mustahab (disukai), sesuai dengan keadaan.
Ath-Thabarani menambahkan dalam riwayatnya dari jalur
lain dari Salim, وَلاَ يُسْلِمُهُ فِي مُصِيْبَةٍ نَزَ
لَتْ بِهِ (Dan tidak membiarkannya dalam
musibah yang menimpanya). Sementara dalam riwayat Imam Muslim dari hadits
Abu Hurairah disebutkan, وَلاَ يَحْقِرُهُ (Dan tidak merendahkannya). Dalam riwayat ini
disebutkan pula, الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ
الْمُسْلِمَ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ (Cukuplah seseorang melakukan keburukan
dengan merendahkan saudaranya sesama muslim).
وَمَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ
أَخِيْهِ (barangsiapa
mengusahakan kebutuhan saudaranya). Dalam hadits Abu Hurairah yang
diriwayatkan Imam Muslim disebutkan, وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ (Allah senantiasa menolong hamba, selama hamba itu
menolong saudaranya).
وَمَنْ فَرَجَ عَنْ مُسْلِمٍ
كُرْبَةً (barangsiapa melapangkan
kesusahan seorang muslim). Kurbah artinya kesusahan yang melanda
jiwa.
وَ مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا (barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim).
Yakni, melihatnya berada dalam perbuatan buruk, tetapi dia tidak membeberkannya
kepada manusia. adapun perintah bolehnya sesorang untuk menjadi saksi bagi
saudaranya yang melakukan perbuatan buruk, dipahami apabila dia telah
mengingkari dan menasehatinya, tetapi saudaranya itu tidak mau berhenti dan
tetap melakukan perbuatan buruknya, bahkan melakukannya secara terang-terangan.
Hal itu sama dengan perintah menutupi keburukan diri sendiri. Namun, jika dia
pergi ke hadapan hakim dan mangakui perbuatannya, maka hal itu tidak dilarang.
Nampaknya kata “menutupi” di sini berlaku pada
kemaksiatan yang telah berlalu. Sedangkan, “pengingkaran” berlaku pada
kemaksiatan yang sedang berlangsung dan senantiasa dikerjakan. Dalam kondisi
seperti ini wajib diingkari; dan jika yang
bersangkutan tidak mau menghentikan perbuatan maksiatnya, maka harus
diajukan kepada hakim. Perbuatan ini tidak termasuk ghibah
(menggunjing), bahkan tergolong nasihat yang baik.
Dalam hadits ini terdapat isyarat untuk meninggalkan ghibah,
sebab orang yang menampakan keburukan saudaranya berarti tidak menutupinya.
سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ القِيَامَةِ (Allah akan menutupinya pada hari Kiamat).
Dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi disebutkan, سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا
وَالآخِرَةِ (Allah akan
menutupinya di dunia dan akhirat).
Hadits ini menganjurkan sikap saling menolong,
memperbaiki pergaulan dan persahabatan. Selain itu, balasan yang diberikan
sesuai dengan ketaatan yang dilakukan. Barangsiapa bersumpah bahwa si fulan
adalah saudaranya (saudara dalam Islam), maka dia tidak dianggap berdosa.[2]
C. Teori
Hakekat Persaudaraan
Muslim
عَنْ سُوَيْدِ بْنِ حَنْظَلَةَ
قَالَ قَال رَسُولُ االلهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ للْمُسْلِمُ
أَخُوْالْمُسْلِمِ
“Diriwayatkan
dari Suwaid ibn Hanzhalah, ia berkata, Rasulullah Saw., bersabda: “Seorang
muslim adalah bersaudara dengan sesama muslim lainnya.” (HR. Ibnu Majah)[3]
Hakekat persaudaraan dalam Islam adalah saling
memperhatikan, dalam artian saling memahami, saling mengerti, saling membantu
dan membela terhadap sesama sebagaimana ditegaskan dalam hadits Rasulullah Saw.,
di atas yang disabdakan karena adanya sahabat membantu dan membela saudaranya
yang diserang atau dianiaya oleh orang lain.[4]
Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain. Kalau
ada orang menganggap dirinya berbeda dengan orang lain dan perbedaan itu justru
menjadikan atau menganggap dirinya besar atau membesar-besarkan dirinya itulah
yang disebut takabbur. Sifat takabbur ini sangat dialarang dalam ajaran Islam,
karena manusia pada hakekatnya tidak punya kebesaran, yang punya kebesaran
hanya Allah semata. Demikian juga karena sifat takabbur akan menghancurkan
identitas persamaan sebagai inti dari sebuah persaudaraan, yang pada akhirnya
akan merusak dan menghancurkan hubungan persaudaraan.[5] Dimaksudkan
dengan saudara adalah bukan terbatas pada saudara kerabat yang masih ada
hubungan kekeluargaan, akan tetapi saudara seiman, sehingga tidak dibatasi oleh
sekat-sekat keturunan, kebangsaan, kedaerahan, dll.[6] Perbedaan
dalam konteks ini harus disikapi dengan semangat toleransi. Salah satu ciri dan
upaya menumbuhkan dan melestarikan hubungan persaudaraan adalah dengan sikap
toleransi terhadap perbedaan serta menjadikan perbedaan itu untuk saling
melengkapi dan menutupi kebutuhan dan kekurangan.[7]
Islam telah mewajibkan persaudaraan di jalan Allah
ini. Ketentuan-ketentuan dan keharusan-keharusannya dijelaskan pada banyak ayat
Al-Quran, antara lain:
إِنَّمَا
ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ ...
“Sesungguhnya
orang-orang Mukmin itu bersaudara...”(QS. Al-Hujurat: 10)
قَالَ
سَنَشُدُّ عَضُدَكَ بِأَخِيكَ ...
Allah berfirman: "Kami
akan membantumu dengan saudaramu, ...(QS. Al-Qashash: 35)
...وَٱذۡكُرُواْ
نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ كُنتُمۡ أَعۡدَآءٗ فَأَلَّفَ بَيۡنَ
قُلُوبِكُمۡ فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦٓ إِخۡوَٰنٗا...
.... dan janganlah
kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara ...(QS. Ali Imran: 103)[8]
Berdasarkan ayat-ayat yang ada di dalam al-Qur’an
menurut Quraisy Shihab setidaknya ada empat macam bentuk persaudaraan yaitu:
1. Ukhwah ‘ubudiyah: persaudaraan sesama ciptaan Allah dan kesamaan
pengabdian kepada Allah.
2. Ukhwah Insaniyah atau basyariyah: persaudaraan karena sama-sama
ummat manusia adalah bersaudara yang berasal dari seorang yah dan ibu.
3. Ukhwah wathaniyah wa al-nasab: persaudaraan karena
satu kebangsaan dan satu keturunan (rumpun).
4. Ukhwah fi al-Din al-Islam: persaudaraan sesama
ummat Islam.
Persaudaraan
dalam Islam itu mengandung cakupan dan arti yang luas, namun demikian
persaudaraan seiman itu adalah yang utama. Dalam ajaran Islam banyak sekali
ajaran yang mengikat agar dapat mempererat tali persaudaraan dan solidaritas
antara ummat Islam contoh shalat berjamaah, zakat, kurban, ibadah haji, infaq,
shadakah.[9]
Adapun langkah-langkah konkrit yang seharusnya
dilakukan agar hubungan persaudaraan tetap terbina, lestari dan harmonis serta
damai adalah sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad yang
bersumber dari Abdullah ibn Umar, Nabi Saw., bersabda:
“Seorang muslim adalah bersaudara dengan
sesamanya muslim. Tidak mendzaliminya, dan tidak meninggalkannya tanpa
pertolongan. Beliau bersabda: “Demi zat yang jiwa Muhammad ada dalam
genggamannya, tidak ada dua orang yang saling mengasihi dan menyayangi lalu
dipisahkan keduanya, kecuali itu merupakan dosa. Dan bagi seorang muslim
dituntut untuk melakukan enam kebaikan terhadap saudaranya: 1) mendoakannya
dengan membaca ير حمكم الله jika ia bersin
diiringi dengan membaca al-hamdulillah, 2) menjenguknya jika ia sakit, 3)
menasehatinya, 4) memberikan ucapan salam jika bertemu dengannya, 5) memenuhi
undangannya jika ia mengundang, 6) mengantarkan jenazahnya, jika ia meninggal.
Dan menahan diri untuk tidak memutuskan hubungan saudaranya lebih dari tiga
hari.”[10]
Orang Beriman Harus
Saling Membantu
Manusia adalah makhluk
sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia baru bisa berkembang dan menemukan jati
dirinya serta dapat memenuhi kebutuhan hidupnya apabila ia berhubungan dengan
orang lain dalam kehidupan bermasyarakat. Tanpa berhubungan dengan orang lain
manusia tidak dapat mengetahui dan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Agar
hubungan antar manusia dalam kehidupan sehari-hari dapat berjalan dengan baik,
diperlukan aturan-aturan yang mengatur tatacara hubungan tersebut. Oleh karena
itu, kewajiban yang harus dilakukan oleh seseorang dalam kehidupan
bermasyarakat salah satunya adalah kewajiban saling tolong menolong dalam
kebaikan.[11]
Firman Allah Swt:
...وَتَعَاوَنُواْ
عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ
...
...Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan kejahatan...(QS. Al-Maidah: 2)[12]
Adapun dalam hadis
Rasulullah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَلَ رَسُولُ الله صَلَّى
الله عَلَهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةًمِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا
نَفَّسَ الله عَنْهُ كُرْبَةً مَنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ
عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ الله عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآ خِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ
مُسْلِمًا سَتَرَهُ الله فِي الدّنْيَا وَااْلآخِرَةِ وَالله فِي عَوْنِ الْعَبْدِ
مَا كَان الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
Abu Hurairah
meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw., bersabda, “Siapa yang melampangkan seorang
mukmin dari satu kesulitan dunia, Allah akan melapangkannya dari satu kesulitan
hari kiamat. Siapa yang memudahkan dari satu kesulitan, Allah akan
memudahkannya dari kesulitan dunia dan akhirat. Siapa yang menutup aib seorang
muslim, Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allahk selalu menolong
hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya.” (HR. Muslim)
Dalam hadis ini, ada
empat informasi, yaitu (a) Allah akan melapangkan hambaNya yang melapangkan
orang lain, (b) Allah akan memudahkan urusan hambaNya apabila ia memudahkan
urusan orang lain, (c) Allah akan menutup aib seorang hamba yang menutup aib
saudaranya, dan (d) Allah akan menolong setiap hamba yang menolong saudaranya.
Semua urusan ini adalah urusan sosial.[13]
Dengan demikian,
siapkanlah diri anda untuk senantiasa bersedia menjadi penolong kepada orang
lain, pasti orang lainpun akan merasa ringan tangan dan bermurah hati untuk
menjadi penolong anda sewaktu-waktu anda memerlukan.[14]
Penyakit Lidah
Lidah ialah alat perasa atau pengecap, yaitu bagian
dari alat pancaindra yang dikaruniai Allah. Apabila lidah tidak dijaga dari
berkata yang tidak benar, maka penyakit pun tiba. Erat hubungannya antara
penyakit dengan lidah itu sendiri. Penyakit lidah ini dapat merusak keteguhan
iman dan takwa manusia kepada Tuhan. Karena penyakit ini telah menyerang
manusia. Allah murka terhadap orang yang mempunyai penyakit lidah ini.
Adapun cara mengobati penyakit lidah ialah dengan
jalan diam karena diam merupakan obat yang ampuh untuk orang-orang yang
menderita penyakit lidah. Penyakit lidah bisa meliputi kesalahan pembicaraan,
berbohong, menjelek-jelekkan orang lain (ghibah), memfitnah, munafik,
bermusuhan, lancang berbicara, menceritakan cacat orang dan kecabulan.
Mengobati penyakit lidah merupakan suatu keharusan, karena menyadari adanya
fitnah yang nantinya dipertanggung jawabkannya terhadap apa-apa yang
dibicarakan selama hidup. Untuk mengobati hal tersebut harus melalui ilmu.[15]
Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ
قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ ٦
Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat: 6)
Al-Ghazali
mengatakan bahawa lidah adalah medan yang amat luas, tak terbatas, ia tidak
mempunyai tempat yang tertolak, karena permainannya dan ia pandai mengelak.
Lidah mempunyai lapangan yang luas untuk kebajikan, sebaliknya tidak sedikit peluang
untuk kejahatan. Ia merupakan sumber fatwa dan malapetaka, sumber hujjah,
dan sumber fitnah.
Barangsiapa
melepaskan manisnya lidah dan menyia-nyiakannya dalam ikatan, maka dalam setiap
lapangan ia selalu menjadi peluang setan. Banyak manusia terangkat dan tersohor
namanya lantaran lidah, sebaliknya dirinya menjadi hancur dan tersungkur
lantaran lidah.
Lidah
termasuk diantara nikmat Allah yang besar dan diantara yang dijadikan oleh
Allah yang halus dan ganjil. Hakikat lidah itu kecil bentuknya, besar ketaatan
dan kemanfaatannya, juga dosa, kemudian kufur dan iman tiada terang selain
dengan kesaksian lidah.
Imajinasi,
fantasi, khyalan, kenyataan, dugaan, sangka, semuanya dapat dicapai dengan
lidah. Ia dapat didatangi oleh lidah dengan ya atau tidak. Karena itu penyakit
lidah ini sangat berbahaya bagi diri sendiri dan juga bagi orang lain. Apabila
salah bicara maka dapat menyakiti hati orang lain, oleh sebab itu harus dijaga
setiap apa yang dibicarakan agar terhindar dari perbuatan yang mengakibatkan dosa.[16]
D. Aspek Tarbawi
Dari keterangan di atas, dapat kita ambil aspek-aspek tarbawi yang terkandung di dalamnya adalah
sebagai berikut:
1.
Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain. Dimana
sesama saudara kita harus saling memperhatikan, saling memahami, saling
mengerti, saling membantu dan membela terhadap sesama.
2.
Hendaknya kita menjauhi sifat takabbur karena sifat
takabbur akan menghancurkan identitas persamaan sebagai inti dari sebuah
persaudaraan, yang pada akhirnya akan merusak dan menghancurkan hubungan
persaudaraan.
3.
Saudara bukan hanya terbatas pada saudara yang masih
ada hubungan kekeluargaan saja, akan tetapi saudara seiman sehingga tidak
dibatasi oleh sekat-sekat keturunan, kebangsaan, kedaerahan. Oleh karena itu,
kita dianjurkan untuk saling toleransi terhadap perbedaan tersebut.
4.
Kita dianjurkan untuk senantiasa menjaga ikatan
persaudaraan dengan cara shalat berjamaah, zakat, kurban, ibadah haji, infaq,
shadakah.
5.
Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial dimana ia
tidak dapat hidup sendiri namun saling membutuhkan satu sama lain. Oleh sebab
itu, kita harus saling tolong menolong kepada siapapun.
6.
Kita tidak boleh merendahkan orang lain, baik itu saudara dekat, teman
akrab dan semua orang yang ada di sekitar kita dengan cara membicarakan
kekurangan atau membuka aib orang lain dan ini sangat dilarang oleh agama.
BAB
II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, kita tidak
boleh mendzaliminya ataupun menyakitinya. Bahkan kita dianjurkan untuk saling
tolong menolong kepada siapapun yang membutuhkan pertolongan kita. Barangsiapa
yang melapangkan satu kesusahan saudara muslim lainnya, maka Allah akan
melapangkan satu kesusahan diantara kesusahan-kesusahannya di hari Kiamat. Allah
akan menutup aib seorang hamba barangsiapa yang menutup aib saudaranya. Dengan
begitu dalam berinteraksi kita harus menjaga ucapan dari perkataan yang dapat menyakiti hati orang
lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, M.
Yatimin. 2007. Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Amzah.
Al Ghalayani,
Syekh Musthafa. 1976. Bimbingan Menuju ke Akhlak yang Luhur. Semarang: CV. Toha Putra.
Al Imam Al
Hafizh, Ibnu Hajar Al Asqalani. 2007. Fathul Baari: Penjelasan Kitab Shahih Al Bukhari. Jakarta:
Pustaka Azzam.
Juwariyah. 2010. Hadits Tarbawi. Yogyakarta: Teras.
Sayadi, Wajidi.
2011. Hadis Tarbawi: Pesan-pesan Nabi Saw Tentang Pendidikan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Suraji, Imam.
2015. Hak dan Kewajiban dalam Perspektif Etika Islam. Yogyakarta: STAIN Pekalongan Pers.
Suryani. 2012. Hadis
Tarbawi: Analisis Paedagogis Hadis-hadis Nabi. Yogyakarta: Terasa.
Ulwan, Abdullah
Nashih. 1996. Pendidikan Anak Menurut Islam: Pendidikan Sosial Anak. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Umar, Bukhari.
2014. Hadis Tarbawi: Pendidikan dalam Perspektif Hadis. Jakarta: Amzah.
[1]
Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al Hafizh, Fathul Baari: Penjelasan Kitab
Shahih Al Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 8-9
[2] Ibid.,
hlm. 9-11
[3]
Wajidi Sayadi, Hadis Tarbawi: Pesan-pesan Nabi Saw Tentang Pendidikan,
cet. 3, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), hlm. 113
[4] Ibid.,
hlm 117
[5] Ibid.,
hlm. 119-120
[7]
Wajidi Sayadi, Op.Cit., hlm 120
[8]
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam: Pendidikan Sosial Anak,
cet. 3, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1996), hlm. 5-6
[9]
Suryani, Hadis Tarbawi: Analisis Paedagogis Hadis-hadis Nabi, cet. 1,
(Yogyakarta: Terasa, 2012), hlm. 143
[10]
Wajidi Sayadi, Op.Cit., hlm 125-126
[11]
Imam Suraji, Hak dan Kewajiban dalam Perspektif Etika Islam,
(Yogyakarta: STAIN Pekalongan Pers, 2015), hlm.123
[12]
Ibid., hlm.124
[13]
Bukhari Umar, Hadis Tarbawi: Pendidikan dalam Perspektif Hadis, cet. 2,
(Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 56-57
[14]
Syekh Musthafa Al Ghalayani, Bimbingan Menuju ke Akhlak yang Luhur,
(Semarang: CV. Toha Putra, 1976), hlm. 223
[15]
M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’an, cet. 1,
(Jakarta: Amzah, 2007), hlm. 71-72
[16] Ibid.,
hlm. 73-74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar